PENGERTIAN
TAFSIR DAN TA’WIL
Pengertian
Tafsir
a.
Pengertian
tafsir secara etimologi
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “ taf’il “, berasal dari akar kata al-fasr
( ف, س.ر) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan
menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan
“ daraba – yadribu “ dan “ nasara – yansuru”. Dikatakan “fasara (asy-syai’a)
yafsiru” dan “yafsuru, fasran”, dan fassarahu”, artinya “abanahu”
(menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan
menyingkap yang tertutup. Dalam Lisanul ‘Arab dinyatakan kata “al-fasr” berarti
menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata “at-tafsir” berarti
menyingkapkan maksud sesuatu lafaz yang musykil, pelik. Dalam Qur’an dinyatakan وَلاَ
يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا (Tidaklah mereka datang kepadamu ( membawa ) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan
kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik tafsir-nya.) (al-Furqan (25):33).
Maksudnya, “paling baik penjelasa dan perinciannya.” Di antara ke dua bentuk
kata itu , al-fasr dan at-tafsir, kata at-tafsir (tafsir)-lah yang paling
banyak dipergunakan.[1]
Berkata
Ibn Abbas tentang firman Allah: وأحـسن تفيرأ artinya, lebih baik perinciannya.
Sebagia
ulama berpendapat, kata “tafsir” (fasara) adalah kata kerja yang terbaik,
berasal dari kata “safara” yang juga berarti menyingkapkan (al-kasyf). Kata-kata:
سَفَـرَتِ الْــمَرْ أَةُسُفُوْرًا berarti, perempuan itu menanggalkan
kerudung dari mukanya. Ia adalah “safirah” (perempuan yang membuka muka).
Kata-kataأسًفَر الصُّــبْحُ :, artinya waktu subuh
telah terang. Pembentukan kata “al-fasr” menjadi bentuk “taf’il” (yakni, tafsir
untuk menunjukkan arti taksir (banyak, sering berbuat). Misalnya firman Allah :
يُذَبحُــوْنَ أًبْناَءَكُــمْ (mereka banyak
menyembelih anak laki-laki kamu.) (al-Baqarah (2):49) dan firman-Nya: وَغَلْقِتِ الأَيْوَابَ (ia sering menutup
pintu-pintu.) (Yusuf (12):23) jadi seakan-akan “tafsir” terus mengikuti dan
berjalan surah demi surah dan ayat demi ayat.[2]
Menurut
ar-Ragib, kata “al-fasr” dan “as-safr” adalah dua kata yang berdekatan makna
dan lafaznya. Tetapi yang pertama untuk (menunjukkan arti) menampakkan
(menzahirkan) makna dan ma’qul (abstrak), sedangkan yang kedua untuk menampakkan
benda kepada penglihatan mata. Maka dikatakanlah:سَفَـرَتِ
الْمَرأَةُعَـنْ وَجْهِهَا (perempuan itu menampakkan mukanya) dan أسفرالصبح (waktu subuh telah
terang).[3]
b.
Pengertian
tafsir secara terminologi
Menurut
Abu Hayyan ialah: “ ilmu yang membahas tentang lafaz-lafaz al-Qur’an, tentang
petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika
tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta
hal-hal lain yang melengkapinya.”[4]
Kemudian
Abu Hayyan menjelaskan secara rinci unsur-unsur definisi tersebut sebagai
berikut:
Kata-kata “ilmu”
adalah kata jenis yang meliputi segala macam ilmu. “yang membahas cara
mengucapkan lafaz-lafaz al-Qur’an”, mengacu pada ilmu qira’at. “Petunjuk-petunjuknya”
adalah pengertian-pengertian yang ditunjukkan oleh lafaz-lafaz itu. Ini mengacu
kepada ilmu bahasa yang diperlukan dalam ilmu (tafsir) ini. Kata-kata
“hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun”, meliputi
ilmu Salaf, ilmu I’rab. Ilmu Bayan dan ilmu Budi”. Kata-kata “makna-makna yang
dimungkinkan baginya ketika tersusun”, meliputi pengertiannya dan hakiki dan
mujazi; sebab suatu susunan kalimat (tarkib) terkadang menurut lahirnya
menghendaki sesuatu makna tetapi untuk membawanya ke makna lahir itu terdapat
penghalang sehingga tarkib tersebut meski dibawa ke makna yang bukan makna
lahir, yaitu majaz. Dan kata-kata “hal-hal yang melengkapinya”, mencakup
pengetahuan tentang nash, sebab nuzul, kisah-kisah yang dapat menjelaskan
sesuatu yang kurang jelas dalam al-Qur’an, dan lain sebagainya.[5]
Menurut
Az-Zarkasyi: “Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan
kepada Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan
hikmahnya.[6]
Menurut
sebagian ulama berkata: tafsir termasuk kaidah kuliah (yang bersifat mencakup),
lawan dari masalah juz’iyah (parsial) atau dari kemampauan yang tumbuh dari
interaksi dengan sejumlah kaedah, sehingga definisinya tidak dapat dibuat karena definisinya
mencakup ilmu lain yang dibutuhkan dalam memehami al-Qur’an seperti ilmu bahhsa, nahwu, sorof, qira’at dan lainya.[7]
Menurut
ulama lain mendefinisikan, “ilmu yang
membahas tentang ihwal al-Qur;an dari sisi maksudnya sebagai mana yang diinginkan
oleh Allah, sesuai dengan kemempuan manusia”.[8]
Definisi
keempat ulama ini semuanya cocok bahwa tafsir ialah ilmu yang membahas maksud
yang diinginkan oleh Allah sesuai kemampuan manusia. Maka ia mencakup setiap
sesuatu yang menjadi tempat bergantungnya pemahaman terhadap makna dan
penjelasan yang di maksudkan.[9]
Pengertian Ta’wil
a.
Secara
Etimologi
Ta’wil
secara etimologi berasa dari kata al-awl ( الاول
), artinya kembali, atau dari kata al-ma’al ( المأل
) artinya tempat kembali dan al-‘aqibah ( العـــا
قــبـة ) yang berarti kesudahan. Juga berasal dari kata al-iyalah
( الإبــا لـة ) yang berarti al-siyasah
( السـيا سـة ) yang antara lain
berarti mengatur.[10]
Muhammad
Husayn al-Dzahabi, megemukakan bahwa dalam pandangan ulama salaf (klasik),
ta’wil memiliki dua macam pengertian:
Pertama: menafsirkan
suatu pembicaraan (teks) dan menerangkan maknanya,tanpa mempersoalkan apakah
penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak. Dalam
konteks pengertian ini, ta’wil dan tafsir benar-benar sinonim (muradif). Inilah
yang dimaksud dengan kata ta’wil yang identik dengan tafsir seperti dalam
ungkapan sebagian pakar tafsir al-Qur’an.
Kedua: ta’wil adalah
subtansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri (nafs al-murad bi
al-kalam). Kalau pembicaraan itu berupa tuntunan, maka ta’wilnya adalah
perbuatan yang dituntut itu sendiri. Dan jika pembicaraan itu berbentuk berita,
maka yang dimaksud adalah subtansi dari sesuatu yang diinformasikan.[11]
Jika
diamati dengan seksama, antara makna pertama dan makna kedua memang tampak
terdapat perbedaan cukup mendasar. Yang pertama memandang ta’wil identik
benar dengan tafsir, sehingga dengan demikian maka ta’wil berwujud pada
pemahaman yang bersifat dzibni )penalaran)
disamping lafal (teks); sementara takwil dalam bentuk kedua adalah
semata-mata hakikat sesuatu yang terdapat di balik (di luar) sesuatu itu
sendiri dalam kaitan ini teks al-Qur’an.[12]
b.
Menurut para
salaf sebagai berikut:
Ta’wil mempunyai banyak makna:
1.
Tafsir atas ucapan dan penjelasanya baik sesuai
dengan lahiriah-nya maupun tidak sesuai. Dengan demikian ta’wil adalah sinonim
tafsir. Inilah yang di maksud dari ucapan dari imam Mujahid saat berkata, “para
ulama mengetahui ta’wilnya”, maksudnya, mengetahui tafsirnya.
2.
Maksud dari ucapan itu sendiri
itu. Jika ucapan itu isinya tuntutan atau permintaan, maka ta’wilnya ialah
perbuatan yang dituntut tersebut. Kalau ucapan itu berupa kalimat berita, maka
ta’wilnya ialah sesuatu yang diberitakan itu sendiri. Ada perbedaan sangat
jelas antara makna ini dengan makna pertama.
Pada
makna 1, ta’wil masuk dalam bab ilmu dan ucapan, seperti tafsir, syara, idhoh
(penjelasan) dann ia ada di hati dan lisan serta berkaitan dengan keberadaan
fikiran, lafazh dan rasm (tulisan). Sedangkan dalam makna 2 ini, ta’wil adalah
zat dari perkara (sesuatu) itu sendiri yang nampak yang ada diluar, baik yang
telah berlalu maupun sekarang. Maka jika dikatakan, “matahari itu telah
muncul”. Ta’wilnya ialah kemunculan matahari itu sendiri. Hal ini menurut
pandangan Ibnu Taimiah merupakan bahasa al-Qur’an yang denganya ia diturunkan.
Dengan demikian, maka setiap lafazh ta’wil dalam al-Quran bisa dikembalikan ke
makna ke-2 ini.[13]
c.
Menurut muta’akhkhirin
Golongan ini
terdiri dari ulama yang mendalami fiqih ahli ilmu kalam, ahli hadits dan
tasawuf.
“yaitu
mengalihkan lafazh dari makna rajih (yang lebih kuat) ke makna marjuh
(kurang kuat) karena adanya dalil yang mendukungnya”. Inilah ta’wil yang
dipercakapkan oleh mereka dalam ushul fiqih dan masalah masalah khilafiah. Jika
dari mereka ada yang berkata, “hadits ini atau ayat ini muawwal (bisa di
ta’wil) atau dibawa kesuatu makna.., Maka yang lain berkata, “ini adalah jenis
ta’wil”.
Ta’wil membutuhkan dalil, maka orang
yang melakukannya harus memenuhi dua syarat:
a.
Harus menjelaskan bahwa lafazh
tersebut bisa di bawa kemakna ke-2 yang di nyatakan sebagai makna yang di
maksud.
b.
Harus menjelaskan dalil yang
mengharuskan lafazh tersebut di bawa dari makna rajih ke makna marjuh
( makna ke-2 yang kurang kuat). Jika tidak di jelaskan, maka ta’wil tersebut
dilarang karena termasuk mempermainkan nash syar’i.
Pengarang
kitab jam’u al-Jawami wa syarhuh bertutur, “ta’wil adalah membawa lahiriah
lafazh kemakna yang marjuh. Jika berdasarkan dalil, makna ta’wil tersebut
benar, bila berdasarkan sesuatu yang dikira dalil, maka ta’wil tersebut rusak
(tidak benar), atau jika tidak ada sandaran atau dalil, maka ta’wil tersebut
merupakan perbuatan main-main, bukan ta’wil.
Ini
pula ta’wil yang diperselisihkan dalam masalah sifat (Allah), ada yang melarang
dan mencela dan ada yang memuji bahkan mewajibkan.[14]
PERBEDAAN ANTARA TAFSIR DAN TA’WIL
Para ulama berpendapat tentang perbedaan antara
tafsir dan ta’wil. Perbedaan inilah yang meresahka Abu al-Qasim Muhammad bin
Naisaburi seperti yang dikutip al-Zarkasyi dalam Burhan:
“Pada masa sekarang, muncul mufasir yang andai kata
ditanya perbedaan antara tafsir dan ta’wil, mereka tidak dapat menjelaskannya
dengar benar. Mereka tidak pandai membaca al-Qur’an, mereka pun tidak
mengetahui arti surat atau ayat.. yang menjadi sasaran mereka adalah membuat
fitnah dan membual dikalangan awam untuk mendapatkan harta duniawi. Mereka sama
sekali bekerja keras. Mereka tidak mau hatinya bersusah payah berfikir karena
merka di kerumuni orang-orang bodoh. Mereka tidak dapat bersikap bijaksana
menenggapi pertanyaan masyarakat”.[15]
Ar-Raghib al-Ishfahani
mengganggap tafsir lebih umum dari pada ta’wil dan biassanya tafsir lebih
banyak digunakann dalam lafal dan mufradatnya, sedangkan ta’wil lebih dititik
beratkan kepada makna dan kalimat serta sering dikenakan keapada kitab-kitab
suci, berbeda halnya dengan tafsir yang digunakan pada selain kitab suci.[16]
Perbedaan ini tidak
terlepas dari ruang lingkup tafsir dan ta’wil yang bekerja pada dua sisi makna
al-Qur’an yaitu: makna zhahir dan makna batin. Dikotami zhahir dan batin,
sebagai dua sisi al-Qur’an, dipertemukan dengan perbedaan tafsr dan ta’wil sebagai
dua metode pendekatan. Ta’wil di pahami sebagai kaidah-kaidah penafsiran
berdasarkan akal terhadap ayat-ayat allegoris yang bertujuan menyingkap
sebanyak mungkin makna yang terkandung di dalam suatu teks serta mmemilih yang
paling tepat. Sedangkan tafsir dipahami sebagai penjelasan yang semata-mata
bersumberkan dari kabar benar yang diriwayatkann secara mutawatir oleh para
perawi yang adil dan dhabith hingga kkepada para sahabat nabi SAW .[17]
Tafsir diartikan juga
dengan kegiatan mengurai untuk mencari pesan yang terkandung dalam teks,
sedangkan ta’wil berarti menelusuri kepada orisinalitas atau ide awal yang
terbungkus oleh teks. Di sini, tafsir dan ta’wil saling terkait, meskipun
karakteristik ta’wil lebih liberal dan imajinatif.[18]
Ta’wil adalah penafsiran
bathin dan bersifat lebih mendalam (tafsir bathin) seperti yang
dikemukakan oleh Abu thalib al-Tsa’labi sebagaimana yang dikutip oleh
al-Suyuthi, namun syarat penafsiran bathin adalah kesesuaiaanya dengan
penafsiran lahir yang lebih nyata. Para ulam sejak dahulu menganggap ta’wil
sebagai tafsir dalam bentuk yang khusus, artinya tafsir lebib umum dari pada
ta’wil seperti pendapat al-Isfahani di atas.[19]
Selanjutnya, ta’wil
menurut al-Baghawi dan al-Kuwasyi tidak dapat bertentangan dengan pengertian linguistik
dan ajaran-ajaran umum al-Qur’an dan sunnah. Maka dari itu meliputi dan bahkan
melampui interpretasi tafsir dan berusaha untuk mengungkan arti final dari
sesuatu.[20]
Memang kadang-kadang tafsir dan ta’wil dianggap
sebagai sinonim karena metodenya yang persis sama. Tetapi, makna yang dicapai
oleh tafsir tidak dapat diperluas dengan ta’wil, khusunya dalam penafsiran
hukum.
Adapun
perbedaan tafsir dan ta’wil itu sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut;
|
TAFSIR
|
TA’WIL
|
|
1. Ar-Raghif Al-Ashfahani:
lebih umum dan lebih banyak digunakan untuk lafazh dan kosakata dalam
kitab-kitab yang diturunkan Allah dan kitab-kitab lainnya.
|
1. Ar-Raghif
Al-Ashfahani: lebih banyak dipergunakan makna dan kalimat dalam kitab-kitab
yang diturunkan Allah saja
|
|
2. Menerangkan
makna lafazh yang tak menerima selain dari satu arti.
|
2.
Menetapkan
makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena
didukung oleh dalil.
|
|
Abu Thalib Ats-Tsa’labi: menerangkan makna
lafazh baik berupa hakikat atu majaz.
|
4.
Abu Thalib
Ats-Tsa’labi: menafsirkan bathin lafazh.
|
SYARAT-SYARAT DAN ADAB BAGI MUFASIR
A.
Syarat-syarat
menjadi seorang Mufasir
Para
ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki setiap mufasir yang
dapat kami ringkaskan sebagai berikut:
1.
Akidah yang benar, sebab akidah
sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya dan seringkali mendorongnya untuk
mengubah nas-nas dan berkhianat dalam penyampaian berita. Apabila seseorang
menyusun sebuah kitab tafsir, maka dita’wilkannya ayat-ayat yang bertentangan
dengan akidahnya dan membawanya kepada mazhabnya yang batil guna memalingkan
manusia dari mengikuti golongan salaf dan dari jalan petunjuk.
2.
Bersih dari hawa nafsu, sebab
hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela kepentingan mazhabnya
sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata halus dan keterangan menarik
seperti dilakukan golongan Qadariah, Syi’ah Rafidah, Mu’tazilah dan para
pendukung fanatik mazhab sejenis lainnya.
3.
Menafsirkan, lebih dahulu, Qur’an
dengan Qur’an, karena sesuatu yang masih global pada satu tempat telah
diperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di suatu
tempat telah diuraikan di tempat lain.
4.
Mencari penafsiran dari sunnah,
karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah al-Qur’an dan penjelasanya. Al-Qur’an
telah menyebutkan bahwa semua hukum (ketetapan) Rasulullah berasal dari Allah.[21]
اِنَّآاَنْزَلْنَآاِلَيْكَ
الْكِتٰبَ بِلْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآاَرٰىكَ اللهُ ۗوَلَاتَكُنْ
لِّلْخَآىِٕنِيْنَ خَصِيْمًا
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran supaya kamu mengadili di antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu,dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang
tidak bersalah),karena(membela) orang-orang yang berkhianat.” (an-Nisa
(4):105).[22]
Allah
menyebut bahwa sunnah merupakan penjelas bagi kitab.
بِاالْبَيِّتنٰتِ
وَالزُّبُرِۗوَاَنْزَلْنَآاِلَيْكَ الذِّ كْرَلِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ
اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan kami
turunkan kepadamu az-Zikr (al-Qur’an) agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (an-Nahl
(16):44).[23]
Oleh
karena itu Rasulullah mengatakan:
“Ketahuilah
bahwa telah diberikan kepadamu al-Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang
serupa dengannya”, yakni sunnah.
Berkenaan
dengan ini Syafi’i berkata: “segala sesuatu yang diputuskan Rasulullah adalah
hasil pemahamannya terhadap al-Qur’an.” Contoh-contoh penafsiran al-Qur’an
dengan sunnah ini cukup banyak jumlahnya dan telah didokumentasikan secara
tertib bersama surah-surah yang ditafsirkannya oleh penulis al-Itqan dalam pasal
terakhir kitabnya. Misalnya penafsiran as-sabil dengan az-zad wae rahilah
(bekal dan kendaraan), az-Zulm (kezaliman) dengan asy-syirk (kemusyrikan) dan
al-hisab al-yasir (hisab, perhitungan yang ringan) dengan al-‘ard (penampakan
sekilas).[24]
5.
Apabila tidak didapatkan
penafsiran dalam sunnah, hendaklah meninjau pendapat para sahabat karena mereka
lebih mengetahui tentang tafsir Qur’an: mengingat merekalah yang menyaksikan
qarinah dan kondisi ketika al-Qur’an diturunkan di samping mereka mempunyai
pemahaman (penalaran) sempurna. Ilmu yang sahih dan amal yang saleh.[25]
6.
Apabila tidak ditemukan juga
penafsiran dalam al-Qur’an, sunnah maupun dalam pendapat para sahabat maka
sebagian besar ulama, dalam hal ini, memeriksa pendapat tabi’in (genasi sebelum
sahabat), seperti Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula (sahaya
yang dibebaskan oleh) Ibn Abbas, ‘Ata’ bin Abi Rabah, Hasan al-basri, Masruq
bin Ajda’, Sa’id bin al-Musayyab, ar-Rabi’ bin Anas, Qatadah, Dahhak bin
Muzahim dan tabi’in lainnya. Di antara tabi’in ada yang menerima seluruh
penafsiran dari sahabat, namun tidak jarang mereka juga berbicara tentang
tafsir ini dengan istinbat (penyimpulan) dan istidlal (penalaran dalil)
sendiri. Tetapi yang (harus) menjadi pengangan dalam hal ini adalah penukilan
yang sahih. Berkenaan dengan ini Ahmad berkata:
“Tiga
kitab tidak mempunyai dasar; magazi (tempat-tempat terjadinya suatu pertempuran
atau sanjungan dan pujian terhadap perbuatan baik seorang tokoh), matahim
(kisah peperangan) dan tafsir (penafsiran).”Maksudnya, tafsir yang tidak
bersandar pada riwayat-riwayat sahih dalam penukilannya.[26]
7.
Pengetahuan bahasa Arab dengan
segala cabangnya, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan pemahaman
tentangnya amat tergantung pada penguraian mufradat (kosa kata) lafaz-lafaz dan
pengertian-pengertian yang ditunjukkannya menurut letak kata-kata dalam
rangkaian kalimat. Tentang syarat ini Mujahid berkata: “Tidak diperkenankan
bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berbicara tentang
Kitabullah apabila ia tidak mengetahui berbagai dialek bahasa Arab.”[27]
Makna
(suatu kata dalam bahasa Arab itu) berbeda-beda disebabkan perbedaan i’rab
(fungsi kata dalam kalimat). Maka atas dasar ini sangat diperlukan pengetahuan
tentang ilmu nahwu (gramatika) dan ilmu tasrif (konyugasi) yang dengan ilmu ini
akan diketahui bentuk-bentuk kata. Sebuah kata yang masih samar-samar maknanya
akan segera jelas dengan mengetahui kata dasar (masdar) dan bentuk-bentuk kata
turunan (musytaq)-nya. Demikian juga pengetahuan tentang keistimewaan suatu
susunan kalimat dilihat dari segi penunjukkannya kepada makna, dari segi
perbedaan maksudnya sesuai dengan kejelasan atau kesamaran penunjukkan makna,
kemudian dari segi keindahan susunan kalimat yakni tiga cabang ilmu balaqah
(retorika), ma’ani, bayan dan badi, semua itu merupakan syarat sangat penting
yang harus dimiliki seorang mufasir mengingat bahwa ia pun harus memperhatikan
atau menyelami maksud-maksud kemukjizatan al-Qur’an. Sedang kemukjizatan
tersebut hanya dapat diketahui dengan ilmu-ilmu ini.[28]
8.
Pengetahuan tentang pokok-pokok
ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an, seperti ilmu qira’ah karena dengan ilmu
ini diketahui bagaimana cara mengucapkan (lafaz-lafaz) al-Qur’an dan dapat
memilih mana yang lebih kuat diantara berbagai ragam bacaan yang
diperkenankan,ilmu tauhid-dengan ilmu ini diharapkan mufasir tidak menta’wilkan
ayat-ayat berkenaan dengan hak Allah dan sifat-sifat-Nya secara melampaui batas
hak-Nya, dan ilmu usul terutama usulul tafsir dengan mendalami masalah-masalah
(kaidah-kaidah) yang dapat memperjelas sesuatu makna dan meluruskan
maksud-maksud al-Qur’an, seperti pengetahuan tentang as-babun nuzul,
nasikh-mansukh dan lain sebagainya.[29]
9.
Pemahaman yang cermat sehingga
mufasir dapat mengukuhkan sesuatu makna atas yang lain atau menyimpulkan makna
yang sejalan dengan nas-nas syari’at.[30]
10.
Ilmu ushul fiqh ilmu ini sangat
penting bagi mufassir dalam rangka mengistimbathkan hukum dari daliil-dalilnya.[31]
11.
Ilmu nasikh mansukh ilmu
ini dipergunakan guna mengetahui ayat-ayat yang muhkam sehingga seorang
mufassir tidak menggunakan dalil-dalil dari ayat yang mansukh baik hukum maupun
tilawahnya.[32]
12. Ilmu fikih: ilmu ini di
pergunakan karena seorang mufasir akan dapat mengetahui pandangan-pandangan
para fuqaha, termasuk metodologi istimbath al-Ahkam mereka.[33]
13.
Ilmu ushuluddin, ilmu ini di
pergunakan karena denganya seorang mufasir akann dapat mengetahui dalil-dalil
pembuktian dari al-Qur’an mengenai sifat-sifat yang mustahil, yang wajib dan
yang jaiz bagi Allah SWT.[34]
14.
Ilmu hadits, seorang mufasir
al-Qur’an diwajibkan untuk mengetahui katagori setiap hadits, dari segi shahih,
da’if atau maudhu’. Sebab tanpa mengetahui ilmu ini, mufasir akan mudah terbawa
arus cerita Israilyat yang kadang kala tidak sesuai dengan ajaran islam.
15.
Ilmu qira’ah, ilmu ini dapat
membantu mufasir dalam menentukan qira’at yang lebih sesuai dengan arti dan
ungkapan yang di maksud.
16.
Ilmu tasharif, ilmu ini perlu din
kuasai karena mufasir akan dapat mengetahui dengan mudah bentuk kata-kata yang
berubah dan tidak berubah (mu’rab dan mabni) , sekaligus perubahan makna nya.[35]
B.
Adab
Menjadi Seorang Mufasir
1.
Berniat baik dan bertujuan benar:
sebab amal perbuatan itu bergantung pada niat. Orang yang mempunyai
(berkecimpung dalam) ilmu-ilmu syari’at hendaknya mempunyai tujuan dan tekat
membangun kebaikan umum, berbuat baik kepada islam dan membersihkan diri dari
tujuan-tujuan duniawi agar Allah meneruskan langkahnya dan memanfaatkan ilmunya
sebagai buah keikhlasannya.[36]
2.
Berakhlak baik; karena mufasir
bagai seorang pendidik yang didikannya itu tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa
tanpa ia menjadi panutan yang diikuti dalam hal akhlak dan perbuatan mulia.
Kata-kata yang kurang baik terkandung menyebabkan siswa enggan memetik manfaat
dari apa yang didengar dan dibacanya, bahkan dapat mematahkan jalan
pemikirannya.[37]
3.
Taat dan beramal. Ilmu akan lebih
dapat diterima (oleh khalyak) melalui orang yang mengamalkannya ketimbang dari
mereka yang hanya memiliki ketinggian pengetahuan dan kecermatan kajiannya. Dan
perilaku mulia akan menjadikan mufasir sebagai panutan yang baik bagi
masal-masalah yang ditetapkanya. Sering kali manusia menolak untuk menerima
ilmu dari orang yang luas pengetahuanya yang hanya karena orang tersebut
berprilaku buruk dan tidak mengamalkan ilmunya.[38]
4.
Berlaku jujur dan teliti dalam
penikulan, sehingga mufasir tidak berbicara atau menulis kecuali setelah
menyelidiki apa yang diriwayatkanya. dengan cara ini ia akan terhindar dari
kesalahan dan kaliruan.[39]
5.
Tawadu’ dan lemah lembut karena
kesombongan ilmiah merupakan dinding kokh yang menghalangi antara seorang
aliran dengan kemanfaatan ilmunya.[40]
6.
Berjiwa mulia. Seharusnya seorang
alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh serta tidak mngelilingi
pintu-pintu kesabaran penguasa bagi peminta-peminta yang buta.[41]
7.
Vokal dalam menyampaikan
kebenaran, karena jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang baik
dihadapan penguasa alim.[42]
8.
Berpenampilan baik yang dapat
menjadikan mufasir berwibawa dan terhormat dalam semua penampilanya secara
umum, juga dalam cara duduk, berdiri dan
berjalan, namun sikap ini hendaknya tidak dipaksa-paksakan.[43]
9.
Bersikap tenang dan mantap.
Mufasir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam berbicara tetapi hendaknya ia
berbicara dengan tenang, mantap dan jelas kata demi kata.[44]
10.
Mendahulukan orang yang lebih
utama dari pada dirinya. Seorang mufasir hendaknya tidak gegabah untuk
menafsirkan dihadapan orang yang lebih pandai pada waktu mereka masih hidup dan
tidak menganjurkan belajar dari mereka dan membaca kitab-kitabnya[45]
11.
Mempersiapkan dan menempuh
langkah-langkah penafsiran secara baik, seperti
memulai menyebutkan asbabul nuzul, arti kosa kata, menerangkan susunann
kalimat, menjelaskan segi-segi balagah dan i’rab yang pada dasarya bergantung
penentuan makna.[46]
A.
Kesimpulan
Dari segi istilah, tafsir
berbeda dengan terjemah atau takwil. Jika tafsir bermakna
menjelaskan maksud dan tujuan ayat-ayat Al-Quran, baik dari sisi makna, kisah,
hukum, maupun hikmah, sehingga mudah dipahami oleh umat. Sedangkan, terjemah
adalah memindahkan makna sebuah lafaz dari bahasa tertentu ke dalam bahasa
lainnya. Dengan kata lain, terjemah adalah memindahkan pembicaraan dari satu
bahasa ke dalam bahasa yang lain dengan mengungkapkan makna dari bahasa
itu.Begitu juga dengan takwil. Takwil adalah memindahkan lafaz dari makna yang
lahir kepada makna lain yang juga dipunyai lafaz tersebut dan makna tersebut
sesuai dengan Alquran dan sunah. Dengan demikian, takwil berarti mengembalikan
sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni menerangkan yang dimaksud dari ayat Alquran.
Dari segi tujuan, antara tafsir dan
takwil tidak memiliki perbedaan, yakni sama-sama berusaha untuk menjelaskan
makna ayat Alquran. Namun demikian, bila ditinjau dari segi kerjanya atau jalan
yang ditempuh, keduanya memiliki perbedaan yang jelas.
Perbedaan itu dapat ditegaskan.
Tafsir sifatnya lebih umum dari takwil. Tafsir menyangkut seluruh ayat,
sedangkan takwil hanya berkenaan dengan ayat-ayat yang mutasyabihat (samar dan
perlu penjelasan). Selain itu, tafsir menerangkan makna-makna ayat dengan
pendekatan riwayat, sedangkan takwil dengan pendekatan dirayat. Tafsir
menerangkan makna ayat yang terambil dari bentuk ibarat (tersurat), sedangkan
takwil dari yang tersirat (isyarat-isyarat).
DAFTAR PUSTAKA
Ashshididqi
Hasbi dkk, Al-Quran dan Terjemahanya, Jakarta,PT.Tanjung Mas Inti
Semarang.1992
Manna’
khalil al-Qaham, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta,PT. Pustaka Litera AntarNusa.1973
Muhammad
Amin Suma,Study Ilmu-Ilmu al-Qur’an 2, Jakarta, Pustaka Firdaus.2001.
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsir Wal-Mufassirun,
Jakarta, Kalam Mulia.2010.
Syarjaya Syibli,Tafsir Ayat-Ayat Ahkam,Jakarta, Raja Wali
Pers.2008
[1]
Manna’ Khalil al-Qattan,Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,(Jakarta: P.T. Pustaka
Litera AntarNusa,1994), hlm. 455-456
[2] Ibid.
[3] Ibid
[4]
Ibid.
[5] Ibid.
[6]
Ibid.
[7]
Muhammad Husein Adz-Dzahabi,At-Tafsir Wal-Mufassirun,(jakarta: Kalam
Mulia, 2010), hlm.2
[8]
ibid,hlm 4
[9] Ibid.
[10]
Muhammad
Amin Suma,Study Ilmu-Ilmu al-Qur’an 2,(Jakarta: Pustaka
Firdaus,2001),hlm.19
[12]
Ibid.
[13]
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa-Mufassirun,(jakarta:kalam
mulia, 2010) hlm 7-9
[15] Syibli
Syarjaya,Tafsir Ayat-Ayat Ahkam,(Jakarta:Rajawali pers, 2008).hlm19
[16] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Manna’
Khalil al-Qattan, Op.cit, hlm.462-463
[22]Terjemahan
Hasbi Ashshididqi dkk, Al-Quran dan Terjemahanya, (Jakarta:PT.Tanjung
Mas Inti Semarang), hlm.139
[23] Ibid,hlm
408
[24]
Manna’ Khalil al-Qattan, loc.cit
[25] Ibid.
[26] Ibid.
hlm.464
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Ibid, hlm. 465
[30] Ibid.
[31] Syibli Syarjaya,Op.cit.,hlm.7
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Ibid.
[35] Ibid.,
hlm. 6
[36] Manna’ Khalil al-Qattan, op.cit. hlm.
465
[37] Ibid.
[38] Ibid,hlm.466
[39] Ibid.
[40] Ibid.
[41] Ibid.
[42] Ibid.
[43] Ibid.
[44] Ibid.
[45] Ibid.
[46] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar