SELAMAT DATANG DI BLOG ANE HEHEHE...!

Kamis, 21 Maret 2013

Makalah Tafsir I



PENGERTIAN TAFSIR DAN TA’WIL

Pengertian Tafsir
a.      Pengertian tafsir secara etimologi
 Tafsir secara bahasa mengikuti wazan  “ taf’il “, berasal dari akar kata al-fasr ( ف, س.ر) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “ daraba – yadribu “ dan “ nasara – yansuru”. Dikatakan “fasara (asy-syai’a) yafsiru” dan “yafsuru, fasran”, dan fassarahu”, artinya “abanahu” (menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Lisanul ‘Arab dinyatakan kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata “at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafaz yang musykil, pelik. Dalam Qur’an dinyatakan  وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا (Tidaklah mereka datang kepadamu ( membawa ) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik tafsir-nya.) (al-Furqan (25):33). Maksudnya, “paling baik penjelasa dan perinciannya.” Di antara ke dua bentuk kata itu , al-fasr dan at-tafsir, kata at-tafsir (tafsir)-lah yang paling banyak dipergunakan.[1]
Berkata Ibn Abbas tentang firman Allah: وأحـسن تفيرأ   artinya, lebih baik perinciannya.
Sebagia ulama berpendapat, kata “tafsir” (fasara) adalah kata kerja yang terbaik, berasal dari kata “safara” yang juga berarti menyingkapkan (al-kasyf). Kata-kata: سَفَـرَتِ الْــمَرْ أَةُسُفُوْرًا berarti, perempuan itu menanggalkan kerudung dari mukanya. Ia adalah “safirah” (perempuan yang membuka muka). Kata-kataأسًفَر الصُّــبْحُ :, artinya waktu subuh telah terang. Pembentukan kata “al-fasr” menjadi bentuk “taf’il” (yakni, tafsir untuk menunjukkan arti taksir (banyak, sering berbuat). Misalnya firman Allah : يُذَبحُــوْنَ أًبْناَءَكُــمْ (mereka banyak menyembelih anak laki-laki kamu.) (al-Baqarah (2):49) dan firman-Nya: وَغَلْقِتِ الأَيْوَابَ (ia sering menutup pintu-pintu.) (Yusuf (12):23) jadi seakan-akan “tafsir” terus mengikuti dan berjalan surah demi surah dan ayat demi ayat.[2]
Menurut ar-Ragib, kata “al-fasr” dan “as-safr” adalah dua kata yang berdekatan makna dan lafaznya. Tetapi yang pertama untuk (menunjukkan arti) menampakkan (menzahirkan) makna dan ma’qul (abstrak), sedangkan yang kedua untuk menampakkan benda kepada penglihatan mata. Maka dikatakanlah:سَفَـرَتِ الْمَرأَةُعَـنْ وَجْهِهَا  (perempuan itu menampakkan mukanya) dan أسفرالصبح   (waktu subuh telah terang).[3]
b.     Pengertian tafsir secara terminologi
Menurut Abu Hayyan ialah: “ ilmu yang membahas tentang lafaz-lafaz al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.”[4]
Kemudian Abu Hayyan menjelaskan secara rinci unsur-unsur definisi tersebut sebagai berikut:
Kata-kata “ilmu” adalah kata jenis yang meliputi segala macam ilmu. “yang membahas cara mengucapkan lafaz-lafaz al-Qur’an”, mengacu pada ilmu qira’at. “Petunjuk-petunjuknya” adalah pengertian-pengertian yang ditunjukkan oleh lafaz-lafaz itu. Ini mengacu kepada ilmu bahasa yang diperlukan dalam ilmu (tafsir) ini. Kata-kata “hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun”, meliputi ilmu Salaf, ilmu I’rab. Ilmu Bayan dan ilmu Budi”. Kata-kata “makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun”, meliputi pengertiannya dan hakiki dan mujazi; sebab suatu susunan kalimat (tarkib) terkadang menurut lahirnya menghendaki sesuatu makna tetapi untuk membawanya ke makna lahir itu terdapat penghalang sehingga tarkib tersebut meski dibawa ke makna yang bukan makna lahir, yaitu majaz. Dan kata-kata “hal-hal yang melengkapinya”, mencakup pengetahuan tentang nash, sebab nuzul, kisah-kisah yang dapat menjelaskan sesuatu yang kurang jelas dalam al-Qur’an, dan lain sebagainya.[5]
Menurut Az-Zarkasyi: “Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.[6]
Menurut sebagian ulama berkata: tafsir termasuk kaidah kuliah (yang bersifat mencakup), lawan dari masalah juz’iyah (parsial) atau dari kemampauan yang tumbuh dari interaksi dengan sejumlah kaedah, sehingga definisinya  tidak dapat dibuat karena definisinya mencakup ilmu lain yang dibutuhkan dalam memehami al-Qur’an seperti ilmu  bahhsa, nahwu, sorof, qira’at dan lainya.[7]
Menurut ulama lain mendefinisikan, “ilmu  yang membahas tentang ihwal al-Qur;an dari sisi maksudnya sebagai mana yang diinginkan oleh Allah, sesuai dengan kemempuan manusia”.[8]
Definisi keempat ulama ini semuanya cocok bahwa tafsir ialah ilmu yang membahas maksud yang diinginkan oleh Allah sesuai kemampuan manusia. Maka ia mencakup setiap sesuatu yang menjadi tempat bergantungnya pemahaman terhadap makna dan penjelasan yang di maksudkan.[9]

Pengertian Ta’wil
a.             Secara Etimologi
Ta’wil secara etimologi berasa dari kata al-awl ( الاول ), artinya kembali, atau dari kata al-ma’al ( المأل ) artinya tempat kembali dan al-‘aqibah ( العـــا قــبـة ) yang berarti kesudahan. Juga berasal dari kata al-iyalah ( الإبــا لـة ) yang berarti al-siyasah ( السـيا سـة ) yang antara lain berarti mengatur.[10]
Muhammad Husayn al-Dzahabi, megemukakan bahwa dalam pandangan ulama salaf (klasik), ta’wil memiliki dua macam pengertian:
Pertama: menafsirkan suatu pembicaraan (teks) dan menerangkan maknanya,tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak. Dalam konteks pengertian ini, ta’wil dan tafsir benar-benar sinonim (muradif). Inilah yang dimaksud dengan kata ta’wil yang identik dengan tafsir seperti dalam ungkapan sebagian pakar tafsir al-Qur’an.
Kedua: ta’wil adalah subtansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri (nafs al-murad bi al-kalam). Kalau pembicaraan itu berupa tuntunan, maka ta’wilnya adalah perbuatan yang dituntut itu sendiri. Dan jika pembicaraan itu berbentuk berita, maka yang dimaksud adalah subtansi dari sesuatu yang diinformasikan.[11]
Jika diamati dengan seksama, antara makna pertama dan makna kedua memang tampak terdapat perbedaan cukup mendasar. Yang pertama memandang ta’wil identik benar dengan tafsir, sehingga dengan demikian maka ta’wil berwujud pada pemahaman yang bersifat dzibni )penalaran) disamping lafal (teks); sementara takwil dalam bentuk kedua adalah semata-mata hakikat sesuatu yang terdapat di balik (di luar) sesuatu itu sendiri dalam kaitan ini teks al-Qur’an.[12]

b.             Menurut para salaf sebagai berikut:
Ta’wil mempunyai banyak makna:
1.      Tafsir  atas ucapan dan penjelasanya baik sesuai dengan lahiriah-nya maupun tidak sesuai. Dengan demikian ta’wil adalah sinonim tafsir. Inilah yang di maksud dari ucapan dari imam Mujahid saat berkata, “para ulama mengetahui ta’wilnya”, maksudnya, mengetahui tafsirnya.
2.      Maksud dari ucapan itu sendiri itu. Jika ucapan itu isinya tuntutan atau permintaan, maka ta’wilnya ialah perbuatan yang dituntut tersebut. Kalau ucapan itu berupa kalimat berita, maka ta’wilnya ialah sesuatu yang diberitakan itu sendiri. Ada perbedaan sangat jelas antara makna ini dengan makna pertama.
Pada makna 1, ta’wil masuk dalam bab ilmu dan ucapan, seperti tafsir, syara, idhoh (penjelasan) dann ia ada di hati dan lisan serta berkaitan dengan keberadaan fikiran, lafazh dan rasm (tulisan). Sedangkan dalam makna 2 ini, ta’wil adalah zat dari perkara (sesuatu) itu sendiri yang nampak yang ada diluar, baik yang telah berlalu maupun sekarang. Maka jika dikatakan, “matahari itu telah muncul”. Ta’wilnya ialah kemunculan matahari itu sendiri. Hal ini menurut pandangan Ibnu Taimiah merupakan bahasa al-Qur’an yang denganya ia diturunkan. Dengan demikian, maka setiap lafazh ta’wil dalam al-Quran bisa dikembalikan ke makna ke-2 ini.[13]
c.              Menurut muta’akhkhirin
Golongan ini terdiri dari ulama yang mendalami fiqih ahli ilmu kalam, ahli hadits dan tasawuf.
“yaitu mengalihkan lafazh dari makna rajih (yang lebih kuat) ke makna marjuh (kurang kuat) karena adanya dalil yang mendukungnya”. Inilah ta’wil yang dipercakapkan oleh mereka dalam ushul fiqih dan masalah masalah khilafiah. Jika dari mereka ada yang berkata, “hadits ini atau ayat ini muawwal (bisa di ta’wil) atau dibawa kesuatu makna.., Maka yang lain berkata, “ini adalah jenis ta’wil”.
Ta’wil membutuhkan dalil, maka orang yang melakukannya harus memenuhi dua syarat:

a.       Harus menjelaskan bahwa lafazh tersebut bisa di bawa kemakna ke-2 yang di nyatakan sebagai makna yang di maksud.
b.      Harus menjelaskan dalil yang mengharuskan lafazh tersebut di bawa dari makna rajih ke makna marjuh ( makna ke-2 yang kurang kuat). Jika tidak di jelaskan, maka ta’wil tersebut dilarang karena termasuk mempermainkan nash syar’i.
Pengarang kitab jam’u al-Jawami wa syarhuh bertutur, “ta’wil adalah membawa lahiriah lafazh kemakna yang marjuh. Jika berdasarkan dalil, makna ta’wil tersebut benar, bila berdasarkan sesuatu yang dikira dalil, maka ta’wil tersebut rusak (tidak benar), atau jika tidak ada sandaran atau dalil, maka ta’wil tersebut merupakan perbuatan main-main, bukan ta’wil.
Ini pula ta’wil yang diperselisihkan dalam masalah sifat (Allah), ada yang melarang dan mencela dan ada yang memuji bahkan mewajibkan.[14]

PERBEDAAN ANTARA TAFSIR DAN TA’WIL
Para ulama berpendapat tentang perbedaan antara tafsir dan ta’wil. Perbedaan inilah yang meresahka Abu al-Qasim Muhammad bin Naisaburi seperti yang dikutip al-Zarkasyi dalam Burhan:
“Pada masa sekarang, muncul mufasir yang andai kata ditanya perbedaan antara tafsir dan ta’wil, mereka tidak dapat menjelaskannya dengar benar. Mereka tidak pandai membaca al-Qur’an, mereka pun tidak mengetahui arti surat atau ayat.. yang menjadi sasaran mereka adalah membuat fitnah dan membual dikalangan awam untuk mendapatkan harta duniawi. Mereka sama sekali bekerja keras. Mereka tidak mau hatinya bersusah payah berfikir karena merka di kerumuni orang-orang bodoh. Mereka tidak dapat bersikap bijaksana menenggapi pertanyaan masyarakat”.[15]
            Ar-Raghib al-Ishfahani mengganggap tafsir lebih umum dari pada ta’wil dan biassanya tafsir lebih banyak digunakann dalam lafal dan mufradatnya, sedangkan ta’wil lebih dititik beratkan kepada makna dan kalimat serta sering dikenakan keapada kitab-kitab suci, berbeda halnya dengan tafsir yang digunakan pada selain kitab suci.[16]
            Perbedaan ini tidak terlepas dari ruang lingkup tafsir dan ta’wil yang bekerja pada dua sisi makna al-Qur’an yaitu: makna zhahir dan makna batin. Dikotami zhahir dan batin, sebagai dua sisi al-Qur’an, dipertemukan dengan perbedaan tafsr dan ta’wil sebagai dua metode pendekatan. Ta’wil di pahami sebagai kaidah-kaidah penafsiran berdasarkan akal terhadap ayat-ayat allegoris yang bertujuan menyingkap sebanyak mungkin makna yang terkandung di dalam suatu teks serta mmemilih yang paling tepat. Sedangkan tafsir dipahami sebagai penjelasan yang semata-mata bersumberkan dari kabar benar yang diriwayatkann secara mutawatir oleh para perawi yang adil dan dhabith hingga kkepada para sahabat nabi SAW .[17]
            Tafsir diartikan juga dengan kegiatan mengurai untuk mencari pesan yang terkandung dalam teks, sedangkan ta’wil berarti menelusuri kepada orisinalitas atau ide awal yang terbungkus oleh teks. Di sini, tafsir dan ta’wil saling terkait, meskipun karakteristik ta’wil lebih liberal dan imajinatif.[18]
            Ta’wil adalah penafsiran bathin dan bersifat lebih mendalam (tafsir bathin) seperti yang dikemukakan oleh Abu thalib al-Tsa’labi sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuthi, namun syarat penafsiran bathin adalah kesesuaiaanya dengan penafsiran lahir yang lebih nyata. Para ulam sejak dahulu menganggap ta’wil sebagai tafsir dalam bentuk yang khusus, artinya tafsir lebib umum dari pada ta’wil seperti pendapat al-Isfahani di atas.[19]
            Selanjutnya, ta’wil menurut al-Baghawi dan al-Kuwasyi tidak dapat bertentangan dengan pengertian linguistik dan ajaran-ajaran umum al-Qur’an dan sunnah. Maka dari itu meliputi dan bahkan melampui interpretasi tafsir dan berusaha untuk mengungkan arti final dari sesuatu.[20]
Memang kadang-kadang tafsir dan ta’wil dianggap sebagai sinonim karena metodenya yang persis sama. Tetapi, makna yang dicapai oleh tafsir tidak dapat diperluas dengan ta’wil, khusunya dalam penafsiran hukum.



Adapun perbedaan tafsir dan ta’wil itu sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut;
TAFSIR
TA’WIL
1.      Ar-Raghif Al-Ashfahani: lebih umum dan lebih banyak digunakan untuk lafazh dan kosakata dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah dan kitab-kitab lainnya.
1. Ar-Raghif Al-Ashfahani: lebih banyak dipergunakan makna dan kalimat dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah saja
2.      Menerangkan makna lafazh yang tak menerima selain dari satu arti.
2.      Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil.
 Abu Thalib Ats-Tsa’labi: menerangkan makna lafazh baik berupa hakikat atu majaz.
4.      Abu Thalib Ats-Tsa’labi: menafsirkan bathin lafazh.





SYARAT-SYARAT DAN ADAB BAGI MUFASIR
A.    Syarat-syarat menjadi seorang  Mufasir
Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki setiap mufasir yang dapat kami ringkaskan sebagai berikut:
1.        Akidah yang benar, sebab akidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nas-nas dan berkhianat dalam penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah kitab tafsir, maka dita’wilkannya ayat-ayat yang bertentangan dengan akidahnya dan membawanya kepada mazhabnya yang batil guna memalingkan manusia dari mengikuti golongan salaf dan dari jalan petunjuk.
2.        Bersih dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela kepentingan mazhabnya sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata halus dan keterangan menarik seperti dilakukan golongan Qadariah, Syi’ah Rafidah, Mu’tazilah dan para pendukung fanatik mazhab sejenis lainnya.
3.        Menafsirkan, lebih dahulu, Qur’an dengan Qur’an, karena sesuatu yang masih global pada satu tempat telah diperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.
4.        Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah al-Qur’an dan penjelasanya. Al-Qur’an telah menyebutkan bahwa semua hukum (ketetapan) Rasulullah berasal dari Allah.[21]

اِنَّآاَنْزَلْنَآاِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِلْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآاَرٰىكَ اللهُ ۗوَلَاتَكُنْ لِّلْخَآىِٕنِيْنَ خَصِيْمًا
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili di antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu,dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah),karena(membela) orang-orang yang berkhianat.” (an-Nisa (4):105).[22]
Allah menyebut bahwa sunnah merupakan penjelas bagi kitab.
بِاالْبَيِّتنٰتِ وَالزُّبُرِۗوَاَنْزَلْنَآاِلَيْكَ الذِّ كْرَلِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu az-Zikr (al-Qur’an) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (an-Nahl (16):44).[23]

Oleh karena itu Rasulullah mengatakan:
“Ketahuilah bahwa telah diberikan kepadamu al-Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya”, yakni sunnah.
Berkenaan dengan ini Syafi’i berkata: “segala sesuatu yang diputuskan Rasulullah adalah hasil pemahamannya terhadap al-Qur’an.” Contoh-contoh penafsiran al-Qur’an dengan sunnah ini cukup banyak jumlahnya dan telah didokumentasikan secara tertib bersama surah-surah yang ditafsirkannya oleh penulis al-Itqan dalam pasal terakhir kitabnya. Misalnya penafsiran as-sabil dengan az-zad wae rahilah (bekal dan kendaraan), az-Zulm (kezaliman) dengan asy-syirk (kemusyrikan) dan al-hisab al-yasir (hisab, perhitungan yang ringan) dengan al-‘ard (penampakan sekilas).[24]
5.        Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah meninjau pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Qur’an: mengingat merekalah yang menyaksikan qarinah dan kondisi ketika al-Qur’an diturunkan di samping mereka mempunyai pemahaman (penalaran) sempurna. Ilmu yang sahih dan amal yang saleh.[25]
6.        Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam al-Qur’an, sunnah maupun dalam pendapat para sahabat maka sebagian besar ulama, dalam hal ini, memeriksa pendapat tabi’in (genasi sebelum sahabat), seperti Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula (sahaya yang dibebaskan oleh) Ibn Abbas, ‘Ata’ bin Abi Rabah, Hasan al-basri, Masruq bin Ajda’, Sa’id bin al-Musayyab, ar-Rabi’ bin Anas, Qatadah, Dahhak bin Muzahim dan tabi’in lainnya. Di antara tabi’in ada yang menerima seluruh penafsiran dari sahabat, namun tidak jarang mereka juga berbicara tentang tafsir ini dengan istinbat (penyimpulan) dan istidlal (penalaran dalil) sendiri. Tetapi yang (harus) menjadi pengangan dalam hal ini adalah penukilan yang sahih. Berkenaan dengan ini Ahmad berkata:
“Tiga kitab tidak mempunyai dasar; magazi (tempat-tempat terjadinya suatu pertempuran atau sanjungan dan pujian terhadap perbuatan baik seorang tokoh), matahim (kisah peperangan) dan tafsir (penafsiran).”Maksudnya, tafsir yang tidak bersandar pada riwayat-riwayat sahih dalam penukilannya.[26]
7.        Pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan pemahaman tentangnya amat tergantung pada penguraian mufradat (kosa kata) lafaz-lafaz dan pengertian-pengertian yang ditunjukkannya menurut letak kata-kata dalam rangkaian kalimat. Tentang syarat ini Mujahid berkata: “Tidak diperkenankan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berbicara tentang Kitabullah apabila ia tidak mengetahui berbagai dialek bahasa Arab.”[27]
Makna (suatu kata dalam bahasa Arab itu) berbeda-beda disebabkan perbedaan i’rab (fungsi kata dalam kalimat). Maka atas dasar ini sangat diperlukan pengetahuan tentang ilmu nahwu (gramatika) dan ilmu tasrif (konyugasi) yang dengan ilmu ini akan diketahui bentuk-bentuk kata. Sebuah kata yang masih samar-samar maknanya akan segera jelas dengan mengetahui kata dasar (masdar) dan bentuk-bentuk kata turunan (musytaq)-nya. Demikian juga pengetahuan tentang keistimewaan suatu susunan kalimat dilihat dari segi penunjukkannya kepada makna, dari segi perbedaan maksudnya sesuai dengan kejelasan atau kesamaran penunjukkan makna, kemudian dari segi keindahan susunan kalimat yakni tiga cabang ilmu balaqah (retorika), ma’ani, bayan dan badi, semua itu merupakan syarat sangat penting yang harus dimiliki seorang mufasir mengingat bahwa ia pun harus memperhatikan atau menyelami maksud-maksud kemukjizatan al-Qur’an. Sedang kemukjizatan tersebut hanya dapat diketahui dengan ilmu-ilmu ini.[28]
8.        Pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an, seperti ilmu qira’ah karena dengan ilmu ini diketahui bagaimana cara mengucapkan (lafaz-lafaz) al-Qur’an dan dapat memilih mana yang lebih kuat diantara berbagai ragam bacaan yang diperkenankan,ilmu tauhid-dengan ilmu ini diharapkan mufasir tidak menta’wilkan ayat-ayat berkenaan dengan hak Allah dan sifat-sifat-Nya secara melampaui batas hak-Nya, dan ilmu usul terutama usulul tafsir dengan mendalami masalah-masalah (kaidah-kaidah) yang dapat memperjelas sesuatu makna dan meluruskan maksud-maksud al-Qur’an, seperti pengetahuan tentang as-babun nuzul, nasikh-mansukh dan lain sebagainya.[29]
9.        Pemahaman yang cermat sehingga mufasir dapat mengukuhkan sesuatu makna atas yang lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nas-nas syari’at.[30]
10.    Ilmu ushul fiqh ilmu ini sangat penting bagi mufassir dalam rangka mengistimbathkan hukum dari daliil-dalilnya.[31]
11.    Ilmu nasikh mansukh ilmu ini dipergunakan guna mengetahui ayat-ayat yang muhkam sehingga seorang mufassir tidak menggunakan dalil-dalil dari ayat yang mansukh baik hukum maupun tilawahnya.[32]
12. Ilmu fikih: ilmu ini di pergunakan karena seorang mufasir akan dapat mengetahui pandangan-pandangan para fuqaha, termasuk metodologi istimbath al-Ahkam mereka.[33]
13.    Ilmu ushuluddin, ilmu ini di pergunakan karena denganya seorang mufasir akann dapat mengetahui dalil-dalil pembuktian dari al-Qur’an mengenai sifat-sifat yang mustahil, yang wajib dan yang jaiz bagi Allah SWT.[34]
14.    Ilmu hadits, seorang mufasir al-Qur’an diwajibkan untuk mengetahui katagori setiap hadits, dari segi shahih, da’if atau maudhu’. Sebab tanpa mengetahui ilmu ini, mufasir akan mudah terbawa arus cerita Israilyat yang kadang kala tidak sesuai dengan ajaran islam.
15.    Ilmu qira’ah, ilmu ini dapat membantu mufasir dalam menentukan qira’at yang lebih sesuai dengan arti dan ungkapan yang di maksud.
16.    Ilmu tasharif, ilmu ini perlu din kuasai karena mufasir akan dapat mengetahui dengan mudah bentuk kata-kata yang berubah dan tidak berubah (mu’rab dan mabni) , sekaligus perubahan makna nya.[35]


B.     Adab Menjadi Seorang Mufasir

1.        Berniat baik dan bertujuan benar: sebab amal perbuatan itu bergantung pada niat. Orang yang mempunyai (berkecimpung dalam) ilmu-ilmu syari’at hendaknya mempunyai tujuan dan tekat membangun kebaikan umum, berbuat baik kepada islam dan membersihkan diri dari tujuan-tujuan duniawi agar Allah meneruskan langkahnya dan memanfaatkan ilmunya sebagai buah keikhlasannya.[36]
2.        Berakhlak baik; karena mufasir bagai seorang pendidik yang didikannya itu tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa tanpa ia menjadi panutan yang diikuti dalam hal akhlak dan perbuatan mulia. Kata-kata yang kurang baik terkandung menyebabkan siswa enggan memetik manfaat dari apa yang didengar dan dibacanya, bahkan dapat mematahkan jalan pemikirannya.[37]
3.        Taat dan beramal. Ilmu akan lebih dapat diterima (oleh khalyak) melalui orang yang mengamalkannya ketimbang dari mereka yang hanya memiliki ketinggian pengetahuan dan kecermatan kajiannya. Dan perilaku mulia akan menjadikan mufasir sebagai panutan yang baik bagi masal-masalah yang ditetapkanya. Sering kali manusia menolak untuk menerima ilmu dari orang yang luas pengetahuanya yang hanya karena orang tersebut berprilaku buruk dan tidak mengamalkan ilmunya.[38]
4.        Berlaku jujur dan teliti dalam penikulan, sehingga mufasir tidak berbicara atau menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayatkanya. dengan cara ini ia akan terhindar dari kesalahan dan kaliruan.[39]
5.        Tawadu’ dan lemah lembut karena kesombongan ilmiah merupakan dinding kokh yang menghalangi antara seorang aliran dengan kemanfaatan ilmunya.[40]
6.        Berjiwa mulia. Seharusnya seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh serta tidak mngelilingi pintu-pintu kesabaran penguasa bagi peminta-peminta yang buta.[41]
7.        Vokal dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang baik dihadapan penguasa alim.[42]
8.        Berpenampilan baik yang dapat menjadikan mufasir berwibawa dan terhormat dalam semua penampilanya secara umum,  juga dalam cara duduk, berdiri dan berjalan, namun sikap ini hendaknya tidak dipaksa-paksakan.[43]
9.        Bersikap tenang dan mantap. Mufasir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam berbicara tetapi hendaknya ia berbicara dengan tenang, mantap dan jelas kata demi kata.[44]
10.    Mendahulukan orang yang lebih utama dari pada dirinya. Seorang mufasir hendaknya tidak gegabah untuk menafsirkan dihadapan orang yang lebih pandai pada waktu mereka masih hidup dan tidak menganjurkan belajar dari mereka dan membaca kitab-kitabnya[45]
11.    Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik, seperti  memulai menyebutkan asbabul nuzul, arti kosa kata, menerangkan susunann kalimat, menjelaskan segi-segi balagah dan i’rab yang pada dasarya bergantung penentuan makna.[46]



A. Kesimpulan

Dari segi istilah, tafsir berbeda dengan terjemah atau takwil. Jika tafsir bermakna menjelaskan maksud dan tujuan ayat-ayat Al-Quran, baik dari sisi makna, kisah, hukum, maupun hikmah, sehingga mudah dipahami oleh umat. Sedangkan, terjemah adalah memindahkan makna sebuah lafaz dari bahasa tertentu ke dalam bahasa lainnya. Dengan kata lain, terjemah adalah memindahkan pembicaraan dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain dengan mengungkapkan makna dari bahasa itu.Begitu juga dengan takwil. Takwil adalah memindahkan lafaz dari makna yang lahir kepada makna lain yang juga dipunyai lafaz tersebut dan makna tersebut sesuai dengan Alquran dan sunah. Dengan demikian, takwil berarti mengembalikan sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni menerangkan yang dimaksud dari ayat Alquran.
Dari segi tujuan, antara tafsir dan takwil tidak memiliki perbedaan, yakni sama-sama berusaha untuk menjelaskan makna ayat Alquran. Namun demikian, bila ditinjau dari segi kerjanya atau jalan yang ditempuh, keduanya memiliki perbedaan yang jelas.
Perbedaan itu dapat ditegaskan. Tafsir sifatnya lebih umum dari takwil. Tafsir menyangkut seluruh ayat, sedangkan takwil hanya berkenaan dengan ayat-ayat yang mutasyabihat (samar dan perlu penjelasan). Selain itu, tafsir menerangkan makna-makna ayat dengan pendekatan riwayat, sedangkan takwil dengan pendekatan dirayat. Tafsir menerangkan makna ayat yang terambil dari bentuk ibarat (tersurat), sedangkan takwil dari yang tersirat (isyarat-isyarat).





DAFTAR PUSTAKA

Ashshididqi Hasbi dkk, Al-Quran dan Terjemahanya, Jakarta,PT.Tanjung Mas Inti Semarang.1992
Manna’ khalil al-Qaham, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta,PT. Pustaka Litera AntarNusa.1973
Muhammad Amin Suma,Study Ilmu-Ilmu al-Qur’an 2, Jakarta, Pustaka Firdaus.2001.
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsir Wal-Mufassirun, Jakarta, Kalam Mulia.2010.
Syarjaya Syibli,Tafsir Ayat-Ayat Ahkam,Jakarta, Raja Wali Pers.2008


[1] Manna’ Khalil al-Qattan,Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,(Jakarta: P.T. Pustaka Litera AntarNusa,1994), hlm. 455-456

[2] Ibid.

[3] Ibid
[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Muhammad Husein Adz-Dzahabi,At-Tafsir Wal-Mufassirun,(jakarta: Kalam Mulia, 2010), hlm.2

[8] ibid,hlm 4

[9] Ibid.
[10] Muhammad Amin Suma,Study Ilmu-Ilmu al-Qur’an 2,(Jakarta: Pustaka Firdaus,2001),hlm.19
               
[11] Ibid, hlm. 20

[12] Ibid.
[13] Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa-Mufassirun,(jakarta:kalam mulia, 2010) hlm 7-9

[14] Ibid hlm, 8-9

[15] Syibli Syarjaya,Tafsir Ayat-Ayat Ahkam,(Jakarta:Rajawali pers, 2008).hlm19

[16] Ibid.

[17] Ibid. Hlm.19-20  

[18] Ibid.

[19] Ibid.

[20] Ibid.

[21] Manna’ Khalil al-Qattan, Op.cit, hlm.462-463

[22]Terjemahan Hasbi Ashshididqi dkk, Al-Quran dan Terjemahanya, (Jakarta:PT.Tanjung Mas Inti Semarang), hlm.139

[23] Ibid,hlm 408

[24] Manna’ Khalil al-Qattan, loc.cit

[25] Ibid.

[26] Ibid. hlm.464

[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Ibid, hlm. 465
[30] Ibid.
[31] Syibli Syarjaya,Op.cit.,hlm.7
[32] Ibid.
[33] Ibid.

[34] Ibid.
[35] Ibid., hlm. 6

[36]  Manna’ Khalil al-Qattan, op.cit. hlm. 465

[37] Ibid.

[38] Ibid,hlm.466

[39] Ibid.

[40] Ibid.

[41] Ibid.

[42] Ibid.

[43] Ibid.

[44] Ibid.

[45] Ibid.

[46] Ibid.