BAB
I
PENDAHULUAN
Pada akhir masa pemerintahan khulafa al-Rasyidin muncul
aliran-aliran kalam yang populer dengan nama Khawarij kemudian di ikuti oleh
Murji’ah, Qodariyah dan Jabariyah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah atau Ahlus Sunnah
wal Jama’ah.
Di dalam materi yang kami buat ini hanya membahas salah satu dari
aliran-aliran yang tercantum di atas, materi yang kami buat ini membahas
tentang aliran Murji’ah.
Murji’ah merupakan
suatu aliran yang muncul setelah aliran Khawarij, aliran berbeda dengan aliran
Khawarij, kalau golongan Khawarij berpendapat bahwa orang yang mengerjakan dosa
besar, atau meninggalkan kewajiban dan sampai mati belum bertaubat, maka orang
itu dihukumkan keluar dari Islam dan menjadi kafir, jadi mereka abadi dalam
neraka.
Sedangkan golongan
Murji’ah ini salah satu pokok ajaranya adalah, bahwa orang Islam yang
mengerjakan dosa besar, atau meninnggalakan kewajiban-kewajiban, yang sampai
matinya belum sempat bertaubat, maka orang itu, dihukum keluar dari Islam,
tetapi tidak menjadi kafir, hanya fasiq saja.
BAB
II
PEMBAHASAN
MURJIAH
A.
Arti Kata Murji’ah
Murji’ah diambil dari kata: “arja’a” (أرجــأ)
ada bebrrapa pendapat tentang arti “arja’a” diantaranya.
a.
Menurut
Ibn ‘Asakir, dalam uraianya tentang asal usul kaum Murji’ah mengatakan bahwa
“arja’a” berarti menunda. Dinamakan demikian karena mereka itu berpendapat
bahwa masalah dosa besar itu ditunda penyelesaianya sampai perhitungan nanti,
kita tidak dapat menghukuminya sebagai kafir.
b.
‘Ahmad
amin dalam kitabnya Fajr al-Islam mengatakan bahwa “arja’a” juga
mengandung arti: membuat sesuatu tempat dibelakang, dalam arti memandang
sesuatu kurang penting. Dinamakan sesuatu kurang penting, yang penting adalah
imanya. Amal adalah nomor dua setelah iman.
c.
Selanjutnya
Ahmad juga mengatakan bahwa “arja’a” juga mengandung arti: memberi pengharapan.
Dinamakan memberi pengharapan, karena diantara kaum Murji’ah ini ada yang
berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar itu tidak berubah kafir
, ia tetap sebagai orang mukmin, dan kalau ia di masukan dalam neraka, maka ia
tidak akan kekal didalamnya. Dengan demikian orang yang berbuat dosa besar
masih mempunyai harapan akan masuk surga.
B.
Sejarah Timbulnya Aliran Murji’ah
Menurut prof. Dr. Harun Nasution, bahwa timbulnya kaum Murji’ah itu
sebagaimana halnya dengan kaum khawarij, pada mulanya juga ditimbulkan karena
persoalan politik, tegasnya persoalan khilafah, yang kemudian membawa
perpecahan di kalangan umat Islam setelah terbunuhnya “Usman bin Affan.
Kaum Khawarij, yang pada mulanya adalah penyokong Ali, tetapi di
kemudian hari berbalik menjadi musuhnya. Karena adanya perlawanan dari golongan
Khawarij ini, maka penyokong-penyokong yang tetap setia kepada Ali bertambah
keras dan fanatik dalam membela Ali, sehingga akhirnya munculah golongan
pendukung Ali yang di kenal nama golongan Syi’ah. Kefanatikan golongan ini
terhadap Ali bertambah keras, terutama setelaha Ali di bunuh oleh Ibn Muljam
dari golongan Khawarij.
Kaum Khawarij dan Syi’ah walaupun merupakan dua go;ongan yang
bermusuhan, namun mereka sama-sama menetang kekuasaan Bani Umayyah. Walaupun
motufnya berlainan. Kalau Khawarij menentang kekuasaan Bani Umayyah, karena
Bani Umayyah telah menyeleweengkan ajaran Islam. Maka golongan Syi’ah menentang
Bani Umayyah kerena mereka menganggap Bani Umayyah telah merampas kekuasaan
dari tanagan Ali dan keturunanya.
Dalam suasana pertentangan seperti inilah maka timbul suatu
golongan baru yang ingin bersikap netral, tidak mau turut dalam praktek
kafir-mengkafirkan, seperti yang dilakukan oleh kaum Khawarij dan Syi’ah.
Golongan inilah yang kemudian dikenal dengan nama golongan Murji’ah. Bagi
mereka sahabat-sahabat yang terlibat dalam pertentangan karena peristiwa tahkim
itu tetap mereka anggap sebagai sahabat-sahabt Nabi yang dapat dipercaya
keimananya. Oleh karena itu mereka tidak menyatakan siapa yang sebenarnya
salah, tetapi mereka lebih baik menunda persoalan tersebut, dan menyerahkanya
kepada Tuhan pada hari perhitungan di hari kiamat nanti, apakah mereka itu
menjadi kafir atau tidak.
Paham teologi Murji’ah Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, paham teologi
Murji’ah mulai muncul karena masalah dosa besar yang pada mulanya ditimbulkan
kaum Khawarij, kini juga menjadi persoalan yang dihadapi oleh kaum Murji’ah.
Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi oarang yang berbuat dosa
besar, maka kaum Murji’ah tidak menjatuhkan hukum kafir bagi mereka. Orang yang
melakukan dosa besar tidak dapt di tetapkan hukunya di dunia. Penyelesaian
hukunya ditunda sampai hari perhitungan di akhirat nanti. Kaum Murji’ah
berpendapt bahwa mereka itu tetap orang yang mukmin, alasanya ialah bahwa
walaupun mereka itu telah berbuat dosa besar, namun mereka masih tetap mengakui
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya. Dengan
kata lain orang yang serupa itu tetap mengucap dua kalimat syahadat yang
menjadi dasar utama dari iman, oleh karena itu orang yang melakukan dosa besar
menurut pendapat golongan ini tetap mukmin, dan bukan kafir.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, pendapat seperti dapat membawa
kepada paham bahwa yang pentung dan diutamakan dalam beragama ini adalah iman,
sedangkan amalperbuatan adalah soal yang kedua. Dengan kata lain bahwa yang
menentukan mukmin atau kafirnya sesorang itu hanyalah kepercayaan atau imanya
saja, bukan perbuatan atau amalnya. Pendapat yang mengangga perbuatan kurang
penting dibanding dengan iman, akhirnya membawa golongan Murji’ah kepada paham
yang ekstrim.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa berlainan denan kaum Khawarij,
yang menekankan pemikiran pada masalah siapa dari orang Islam yang sudah
menjadi kafir, yaitu siapa yang telah kaeluar dari Islam, maka kaum Murji’ah
menekankan pemikiran mereka pada hal yang sebaliknya, siapakah yang masih
mukmin dan tidak keluar dari Islam.
C.
Doktrin-doktrin Murji’ah
Ajaran
pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau
arja’a yang diimplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik
maupun teologis. Di bidang politik, doktrin irja diimplikasikan dengan sikap
politik netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap
diam. Itulah sebanya, kelompok Murji’ah dikenal sebagai the queietists
(kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga
membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.
Adapun
dibidang teologi, doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi
persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan
berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks
sehingga mencakup Iman, kufur, dosa besar dan ringan (mortal and venial
sains), tauhid, tafsir Al-Qur’an eskatologi, pengampunan atas dosa besar,
kemaksuman nabi (the impeccability of the profhet), hukuman atas dosa (punisment
of sins), ada yang kafir (infidel) dikalangan generasi awal Islam,
tobat (redress of wrong), hakikat al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta
ketentuan Tuhan (predesination).
Berkaitan
dengan doktin teologi Murji’ah, W. Mongtgomery Watt merinci sebagai berikut:
a.
Penangguhan
terhadap terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskanya di akhirat kelak.
b.
Penangguhan
Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
c.
Pemberian
harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d.
Doktrin-doktrin
Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari
kalangan Helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan
empat ajaran pokoknya, yaitu:
a.
Menunda
hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat
tahkim, dan menyerahkanya kepada Allah dihari kiamat kelak.
b.
Menyerahkan
keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c.
Meletakan
(pentingnya) iman dari pada ama.
d.
Memberikan
pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah.
Sementara itu Abu ‘A’ la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok
ajaran Murji’ah, yaitu:
a.
Iman
adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan
tidak merupakan sesuatu keharusan bagi adanaya iman. Berdasarkan hal ini,
seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalan perbuatan yang difardukan
dan melakukan dosa besar.
b.
Dasar
keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat
tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas sesorang. Untuk
mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya menjauhkan diri dari syirik dan
mati dalam keadaan akidah tauhid.
D.
Sekte-sekte Dalam Murji’ah
Kemunculan
sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat
(bahkan hanya dalam hal intensitas) dikalangan para pendukung Murji’ah sendiri.
Dalam hal ini, terdapat problem yang cukup mendasar ketika para pengamat
mengklasifikasikan sekte-sekte Murji’ah. Kesulitanya antara lain adalah: ada
beberapa tokoh aliran pemikir tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat
sebagai pengikut Murji’ah, tetapi tidak
diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud adalah Washil bin Atha dari
Mu’tazilah dan Abu hanifah dari Ahlus Sunnah. Oleh karena itulah,
Ash-Syahrastani, seperti yang dikutip oleh Watt, menyebut sekte-sekte Murji’ah
sebagai berikut:
a.
Murji’ah-Khawarij
b.
Murji’ah-Qodariyah
c.
Murji’ah-Jabriyah
d.
Murji’ah
Murni
e.
Murji’ah
Sunni
Sementara
itu, Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte-sekte Murji’ah yaitu:
a.
Al-jahmiyah
b.
Ash-shalihiyah
c.
Al-Yunushiyah
d.
As-Samriyah
e.
Asy-Syaubaniyah
f.
Al-Ghailiniyah
g.
An-Najariyah
h.
Al-Hanafiyah
i.
Asy-Syabibiyah
j.
Al-Mu’aziyah
k.
Al-Murisiyah
l.
Al-Karamiyah
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, pada umumnya kaum Murji’ah itu
dapat dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan Murji’ah yang moderat dan
golongan Murji’ah yang ekrim.
1.
Golongan
Murji’ah yang moderat
Golongan ini berpendapat bahwa orang-orang yang melakukan dosa
besar itu tidak menjadi kafir karenanya, dan tdak kekal dalam neraka. Orang
tersebut akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang ia
kerjakan. Bahkan apabila Allah mengampuni dosanya itu ada kemungkinan ia tidak
masuk neraka sama sekali. Jadi menurut golongan ini, oramg islam yang melakukan
dosa besar itu masih tetap mukmin.
Yang termasuk dalam golongan Murji’ah yang moderat ini antara lain:
al-Hasan ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan ahli
hadits.
Abu
Hanifah misalnya, dalam masalah iman mengatakan: iman ialah pengetahuan dan
pengakuan tentang Tuhan, tentang Rosul-rasul-Nya, dan tentang apa yang datang
dari Tuhan dlam bentuk keseluruhan, bukan dalam bentuk perincian. Menurut dia,
iman itu tidak bertambah atau berkurang, dan tidak perbedaan antara manusia
dalam hal iman. Dari ucapan Abu Hanifah tersebut jelaslah bahwa iman semua
orang islam itu sama, tidak ada perbedaan iman orang islam yang berdosa besar
dan iman orang yang patuh dan taat menjalankan perintah-perintah Allah dan
menjauhi segala larangan-laranganNya.
2.
Golongan
Murji’ah yang ektrim
Yang
termausuk dalam golngan ini antara lain:
a)
Golongan
Al-jahmiah.
Mereka
adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam
yang mempercayai kepada Tuhan dan kemudian ia menyatakan kufur kepada Tuhan
secara lisan, maka orang tersebut tidak menjadi kafir karenanya, sebab iman itu
tempatnya dalam hati, bukan di lidah atau tempatt lain dalam tubuh manusia.
Bahkan apabila orang tersebut melakukan penyembahan terhadap berhala, atau
menyatakan percaya pada trinitas, kemudian orang tersebut meninggal dunia, maka
orang tersebut dalam pandangan Allah masih tetap sebagai seorag mukmin yang sempurna imanya.
b)
Golongan
Al-Salihiah.
Mereka
adalah pengikutt Abu al-Hasan al-Salihi. Golongan ini berpendapat bahwa iman
adalah pengetahuan Tuhan, sedangkan kufr tidak mengetahui Tuhan. Menurut
mereka, shalat itu tidak merupakan ibadah kepada Tuhan, karena yang disebut
Ibadat ialah beriman kepada Tuhan.dalam arti mengetahui Tuhan. Menurut mereka
shalat , zakat, puasa, dan haji itu hanya untuk menyatakan kepatuhan kepada
Tuhan, dan tidak merupakan ibadat kepada Allah, yang disebut ibadat adalah
iman.
c)
Golongan
Al-Yunusiyah.
Golongan
berpendapat bahwa yang disebut iman itu hanyalah mengetahui Tuhan karena itu
mereka berkesimpulan bahwa melakukan perbuatan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan
jahat itu tidak merusak iman seseorang.
d)
Golongan
Al-Ubaidiyah.
Golongan ini
berpendapat bahwa jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan beriman, maka
dosa-dosa dari perbuatan-perbuatan jahat mereka tidak akan merugikan mereka.
Perbuatan jahat, sedikit atau banyak tidak merusakan iman seseorang, dan
demikian pula sebaliknya. Perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh
seseorang yang musyrik (tidak beriman), tidak akan mengubah kedudukanya sebagai
orang yang musyrik.
Paham-paham ekstrim seperti dikemukakan di atas, muncul sebagai
akibat dari pendapat yang mengatakan bahwa hanya iman sajalah yang penting yang
menentukan mukmin atau tidaknya seseorang. Amal perbuatan tidak mempunyai
pengaruh terhadap iman seseorang. Iman letaknya dalam hati dan perbuatan-perbuatan
manusia itu tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh
karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang itu tidak mesti
mengandung arti bahwa ia tidak mempunyai iman. Karena itu ucapan-ucapan dan
perbuatan-perbuatan seseorang itu tidak akan merusak imannya.
Menurut Al-Asy’ari orang yang berdosa besar, jika meninggal dunia
tanpa bertaubat, maka nasibnya berada di tangan Allah,. Ada kemungkinan Tuhan
mengampuni dosa-dosanya tetapi ada kemungkinan pula Allah tidak akan mengampuni
dosa-dosanya, dan akan menyiksanya sesuai dengan dosa-dosa yang penah
dilakukanya, dan kemudian barulah ia dimasukan dalam surga, karena tak mungkin
ia kekal dalam api neraka.
Pendapat Al-Asy’ari tersebut identik dengan pendapat yang
dikemukakan oleh golongan Murji’ah yang moderat, dan mungkin inilah sebabnya
maka Ibn Hazm memasukan Al-Asy’ari kedalam golongan kaum Murji’ah yang moderat.
BAB III
KESIMPULAN
Pandangan aliran Murji’ah tentanng status pelaku dosa besar dapat
ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Tiap-tiap sekte
Murji’ah berbeda pendapat dalam merumuskan definisi iman itu sehingga pandangan
tiap-tiap subsekte tentang status pelaku dosa besar pun berbeda-beda pula.
Secara garis
besar, bagaimana telah dijelaskan, subsekte Khawarij dpat dikategorikan dalam
dua kategori: ekstrim dan moderat. Untuk memilahh mana subsekte
yang ekstrim atau moderat, Harun Nasution berpendapat bahwa subsekte Murji’ah
yang ekstrim adalah merekka yyang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam
kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa
yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan atau perbuatan sesorang
yang menyimpang dari kaedah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak
keimananya, bahkan keimananya masih sempurna di mata Tuhan.
Diantara kalangan
Murji’ah yang berpendapat serupa di atas adalah subsekte al-Jamiyah,
as-Salihiyah dan al-Yunusiyah, mereka berpandangan bahwa iman adalah tasdiq
secara kalbu saja atau dengan kata lain, ma’rifah (mengetahui) Allah dengan
Kalbu: bukan secara demonstratif, baik dalam ucapan maupun tindakan. Oleh
karena itu, jika seseorang telah beriman dakam hatinya, ia dipandang tetap
sebagai seorang mukmin sekalipun menampakan tingkah laku seperti yahudi atau
nasrani. Menurut mereka, Iqrar dan Amal bukanlah bagian dari
Iman. Kelompok Murji’ah ekstrim yang terkenal adalah perbuatan maksiat tidak
dapat menggugurkan ke imanan sebagaimana ketaatan tidak dapat membawa ke
kufuran. Dapat disimpulkan bahwa Murji’ah Ekstrim memandang pelaku dosa besar
tidak akan disiksa di neraka.
Adapun Murji’ah
moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi
kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal di dalamnya, bergantung pada
ukuran dosa yang dilakukanya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan
mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksaan neraka. Diantara subsekte
Murji’ah yang masuk dalam kategori ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya.
Pertimbanganya, pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman
tidak jauh berbeda dengan kelompok Murji’ah Moderat lainya. Ia berpendapat
bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, tetapi dosa yang diperbuatnya bukan
berarti tidak berimplikasi seandainya masuk neraka, karena Allah menghendakinya
ia tak akan kekal didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Mustadjibi,
dkk, Aqidah Akhlak II, Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agam Islam Universitas Terbuka, 1996
Rozak, Abdul. Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, cetakan VII, CV.
Pustaka Setia, Bandung, 2012