SELAMAT DATANG DI BLOG ANE HEHEHE...!

Rabu, 13 November 2013

Shalat merupakan ibadah yang sangat penting. Begitu pentingnya hingga dalam kondisi apa pun seseorang harus melaksanakan shalat. Meski dalam keadaan sakit, seorang Muslim harus wajib melaksanakan shalat dengan cara sesuai kemampuannya. Jika mampu berdiri, maka ia shalat dengan berdiri. Jika tak mampu berdiri, ia duduk. Jika tidak mampu duduk, shalat dengan berbaring, dan seterusnya.
Lalu, bagaimana kalau suatu saat seseorang tertinggal melaksanakan shalat, baik sengaja maupun tidak. Dalam kondisi ini, sebagian ulama mewajibkan ia mengganti atau meng-qadha' shalatnya. Yang dimaksud dengan meng-qadha' shalat adalah melaksanakan shalat di luar waktunya. Hal ini bisa disebabkan karena beberapa hal. Antara lain: lupa atau tertidur, pingsan dan hilang ingatan, malas dan sengaja mengundur atau meninggalkan shalat.
A.    Karena Lupa atau Tertidur
Para ulama sepakat bagi orang yang lupa atau tertidur, wajib meng-qadha' shalatnya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw, "Apabila seseorang lupa shalat atau tertidur, maka shalatlah ketika ia ingat (sadar)."
B.    Meninggalkan Shalat dengan Sengaja
Adapun orang yang meninggalkan dengan sengaja, para ulama berbeda pendapat dengan rincian sebagai berikut:
1.      Menurut jumhur ulama, ia berdosa dan wajib meng-qadha' shalatnya.
2.      Menurut Imam Ibnu Taimiyah, "Orang yang sengaja meninggalkan shalat, tidak diperintahkan syara' untuk meng-qadha' shalatnya. Jika ia meng-qadha'nya, tetap sah namun harus memperbanyak shalat sunnah.

3.      Ibnu Hazm sependapat dengan Ibnu Taimiyah, bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tidak perlu meng-qadha' shalatnya. Ia cukup memperbanyak shalat sunnah dan berbuat kebaikan serta bertaubat kepada Allah. Ibnu Hazm melandasi pendapatnya dengan firman Allah, "Maka neraka Wail-lah bagi orang yang meninggalkan shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya," (QS al-Maun: 4-5). Mereka yang berpendapat seperti ini antara lain: Umar bin Khaththab, Sa'ad bin Abi Waqqash, Ibnu Umar, Salman al-Farisi, Abdullah bin Mas'u dan sejumlah shahabat Nabi saw lainnya (Fiqih Sunnah II/299).
4.      Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafii berpendapat, ia harus meng-qadha shalatnya bila waktunya habis. Bahkan, Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat, ia harus meng-qadha'nya sebelum melaksanakan shalat yang waktunya tiba.
Dalam kitab Fiqih Empat Madzhab karya Imam al-Jaziri bab 25 Shalat Qadha’ disebutkan: para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan lainnya) bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu maka ia wajib menggantinya/meng-qadha'nya. Baik shalat itu ditinggalkannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran. Rincian pendapat mazhab tersebut adalah:
Mazhab Syafii berpendapat, meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa uzur, wajib di-qadha' dengan segera,tidak boleh ditunda kecuali sedang melakukan kewajiban yang lain, seperti mendengarkan khutbah Jum’at, maka boleh ditunda sampai menyelesaikan kewajiban. Adapun shalat yang ditinggalkan karena uzur seperti sakit, wajib di-qadha' walaupun tidak dikerjakan dengan segera.
Mazhab Hanafi berpendapat, shalat yang ditinggalkan wajib di-qadha' dengan segera, bahkan lebik baik meng-qadha' shalat daripada menyibukkan diri dengan pekerjaan yang sunah, kecuali shalat-shalat sunah Rawatib, shalat Dhuha, shalat Tasbih, Tahiyatul Masjid, boleh dikerjakan namun tidak dapat dijadikan pengganti shalat-shalat wajib yang ditinggalkan. Hanya saja dengan sebab mengerjakan shalat-shalat sunah yang disebutkan boleh menunda untuk meng-qadha' shalat yang ditinggalkan.
Mazhab Maliki berpendapat, haram melakukan shalat-shalat sunat bagi orang yang masih ada shalat wajibnya yang belum diqadha, terkecuali shalat Tahajjud dan shalat Witir. Adapun shalat Tarawih bagi orang yang belum meng-qadha' shalatnya yang tinggal, di satu sisi tetap berpahala dan di sisi lain dia berdosa disebabkan melambatkan qadha' shalat wajib yang ditinggalkan.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa haram hukumnya melaksanakan shalat sunah sebelum meng-qadha' shalat wajib yang ditinggalkan. Jika dikerjakan shalat sunah seperti shalat sunah mutlaq maka hukumnya haram. Adapun shalat sunah Rawatib, Witir boleh dia kerjakan, namun sebaiknya diutamakan shalat qadha'.
Jadi, dapat disimpulkan, apabila jumlah shalat yang ditinggalkannya masih memungkinkan bagi dirinya untuk meng-qadha'nya, maka hendaklah di-qadha'. Namun jika jumlahnya sudah terlalu banyak, misalnya bertahun-tahun dirinya tidak melaksanakan shalat, sehingga memberatkan baginya untuk meng-qadha'nya maka cukup baginya untuk bertaubat kepada Allah dengan taubat nashuha dan tidak mengulangi perbuatannya meninggalkan shalat di waktu-waktu berikutnya.
C.     Wanita Haidh dan Nifas
Wanita haid dan nifas tidak wajib meng-qadha' shalatnya walaupun waktunya luas. Sebab,  kewajiban shalat gugur dari mereka. Jika tidak wajib mengerjakan secara tepat waktu maka tidak wajib pula mengerjakan secara qadha'. Mereka hanya wajib meng-qadha' puasa.
D.     Orang Gila, Pingsan atau Mabuk
Terdapat perselisihan pendapat tentang kewajiban qadha' atas orang gila, pingsan dan orang mabuk.
1.      Mazhab Hanafi: wajib qadha' atas orang yang hilang akalnya karena benda memabukkan yang diharamkan seperti arak dan lainnya. Sedangkan orang yang hilang akal karena pingsan atau gila, kewajiban qadha' itu gugur dengan dua syarat: a). Pingsan atau gilanya itu berlangsung terus sampai lebih lima kali waktu shalat. Kalau hanya lima kali shalat atau kurang dari itu, maka wajib qadha'. b). Tidak sadar selama masa pingsan atau gilanya itu pada waktu shalat. Kalau ia sadar dan belum shalat, maka wajib qadha' atasnya.
2.      Mazhab Maliki: orang gila dan pingsan wajib qadha'. Sedangkan orang mabuk, apabila disebabkan barang haram, wajib qadha'. Jika disebabkan barang halal, seperti minum susu asam lalu mabuk, tidak wajib qadha.
3.      Imam Hambali: orang yang pingsan dan mabuk karena benda haram wajib qadha, sedangkan orang gila, tidak.
4.      Imam Syafi'i: orang gila tidak wajib qadha apabila gilanya itu menghabiskan seluruh waktu shalat (dalam satu hari), begitu pula orang pingsan dan orang mabuk jika pingsan dan mabuknya bukan disebabkan minuman keras yang diharamkan. Kalau tidak demikian, wajib qadha.
Mereka yang berpendapat bahwa orang pingsan tak perlu meng-qadha' shalatnya berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar. Suatu saat ia jatuh pingsan dan ketika sadar ia tidak meng-qadha' shalatnya. Pendapat ini dianut juga oleh Ibnu Thawus, Imam az-Zuhri, Hasan al-Bashri, dan Muhammad bin Sirin (Lihat: Fiqih Sunnah I/297-298).
E.      Cara Meng-qadha' Shalat
Imam Hanafi berpendapat, orang yang ketinggalan shalat fardhu, wajib meng-qadha' sesuai yang ditinggalkannya tanpa mengubah dan menggantinya. Misalnya, seseorang terhutang shalat sempurna dan hendak meng-qadha'nya padahal ia dalam perjalanan. Maka, ia meng-qadha'nya dengan sempurna pula. Orang yang terhutang shalat qashar, dan hendak meng-qadha'nya, padahal ia tidak dalam perjalanan, maka meng-qadha'nya dengan qashar. Begitu pula dengan shalat jahr (yang disuarakan dengan keras) atau shalat sirr (yang disuarakan pelan). Jika ia meng-qadha' shalat Isya’ dan Maghrib di waktu siang, hendaklah dilakukannya dengan suara jahr, kalau ia meng-qadha' shalat Zhuhur dan Ashar di waktu malam, maka hendaklah dilakukannya dengan suara pelan.
Imam Hambali dan Syafi’i berpendapat, barangsiapa hendak meng-qadha' Shalat Qashar yang terhutang, kalau berada dalam perjalanan di-qadha' dengan qashar sebagaimana yang ditinggalkannya. Sedangkan kalau ia tidak dalam perjalanan, maka shalat qashar itu wajib di qadha dengan sempurna. Ini berkaitan dengan jumlah rakaat.
Sedangkan yang berkaitan dengan sirr (suara pelan) dan jahr (suara keras), maka Imam Syafi’i mengatakan, orang yang meng-qadha' shalat Zhuhur di waktu malam, ia wajib melakukannya dengan suara jahr (keras), dan orang yang meng-qadha' shalat Maghrib di waktu siang, ia wajib melakukannya dengan suara pelan.
Adapun menurut Imam Hambali, bacaan dalam shalat qadha' harus dengan suara pelan secara mutlak, baik shalat sirr atau jahr, baik di-qadha'nya pada waktu malam maupun siang, kecuali jika ia imam dan shalat itu jahr, dan di-qadha nya di waktu malam.
Para ulama sepakat selain para ulama Syafi’iyah atas wajibnya tertib dalam melakukan qadha' shalat-shalat yang tertinggal. Shalat yang terdahulu harus di-qadha' lebih dulu daripada yang belakangan. Kalau ia tertinggal shalat Magrib dan Isya’, maka ia harus meng-qadha' shalat Maghrib lebih dulu, baru Isya’, seperti halnya dalam shalat pada waktunya.
Imam Syafi’i mengatakan: tertib antara shalat yang tertinggal itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Orang yang meng-qadha' shalat Isya lebih dulu, kemudian baru melakukan shalat Maghrib, shalatnya tetap sah. Wallahu a'lam.

Rabu, 17 April 2013

Aliran-ALiran Ilmu Kalam



BAB I
PENDAHULUAN

Pada akhir masa pemerintahan khulafa al-Rasyidin muncul aliran-aliran kalam yang populer dengan nama Khawarij kemudian di ikuti oleh Murji’ah, Qodariyah dan Jabariyah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Di dalam materi yang kami buat ini hanya membahas salah satu dari aliran-aliran yang tercantum di atas, materi yang kami buat ini membahas tentang aliran Murji’ah.
            Murji’ah merupakan suatu aliran yang muncul setelah aliran Khawarij, aliran berbeda dengan aliran Khawarij, kalau golongan Khawarij berpendapat bahwa orang yang mengerjakan dosa besar, atau meninggalkan kewajiban dan sampai mati belum bertaubat, maka orang itu dihukumkan keluar dari Islam dan menjadi kafir, jadi mereka abadi dalam neraka.
            Sedangkan golongan Murji’ah ini salah satu pokok ajaranya adalah, bahwa orang Islam yang mengerjakan dosa besar, atau meninnggalakan kewajiban-kewajiban, yang sampai matinya belum sempat bertaubat, maka orang itu, dihukum keluar dari Islam, tetapi tidak menjadi kafir, hanya fasiq saja.




BAB II
PEMBAHASAN
MURJIAH

A.    Arti Kata Murji’ah
Murji’ah diambil dari kata: “arja’a” (أرجــأ) ada bebrrapa pendapat tentang arti “arja’a” diantaranya.
a.       Menurut Ibn ‘Asakir, dalam uraianya tentang asal usul kaum Murji’ah mengatakan bahwa “arja’a” berarti menunda. Dinamakan demikian karena mereka itu berpendapat bahwa masalah dosa besar itu ditunda penyelesaianya sampai perhitungan nanti, kita tidak dapat menghukuminya sebagai kafir.
b.      ‘Ahmad amin dalam kitabnya Fajr al-Islam mengatakan bahwa “arja’a” juga mengandung arti: membuat sesuatu tempat dibelakang, dalam arti memandang sesuatu kurang penting. Dinamakan sesuatu kurang penting, yang penting adalah imanya. Amal adalah nomor dua setelah iman.
c.       Selanjutnya Ahmad juga mengatakan bahwa “arja’a” juga mengandung arti: memberi pengharapan. Dinamakan memberi pengharapan, karena diantara kaum Murji’ah ini ada yang berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar itu tidak berubah kafir , ia tetap sebagai orang mukmin, dan kalau ia di masukan dalam neraka, maka ia tidak akan kekal didalamnya. Dengan demikian orang yang berbuat dosa besar masih mempunyai harapan akan masuk surga.

B.     Sejarah Timbulnya Aliran Murji’ah
Menurut prof. Dr. Harun Nasution, bahwa timbulnya kaum Murji’ah itu sebagaimana halnya dengan kaum khawarij, pada mulanya juga ditimbulkan karena persoalan politik, tegasnya persoalan khilafah, yang kemudian membawa perpecahan di kalangan umat Islam setelah terbunuhnya “Usman bin Affan.
Kaum Khawarij, yang pada mulanya adalah penyokong Ali, tetapi di kemudian hari berbalik menjadi musuhnya. Karena adanya perlawanan dari golongan Khawarij ini, maka penyokong-penyokong yang tetap setia kepada Ali bertambah keras dan fanatik dalam membela Ali, sehingga akhirnya munculah golongan pendukung Ali yang di kenal nama golongan Syi’ah. Kefanatikan golongan ini terhadap Ali bertambah keras, terutama setelaha Ali di bunuh oleh Ibn Muljam dari golongan Khawarij.
Kaum Khawarij dan Syi’ah walaupun merupakan dua go;ongan yang bermusuhan, namun mereka sama-sama menetang kekuasaan Bani Umayyah. Walaupun motufnya berlainan. Kalau Khawarij menentang kekuasaan Bani Umayyah, karena Bani Umayyah telah menyeleweengkan ajaran Islam. Maka golongan Syi’ah menentang Bani Umayyah kerena mereka menganggap Bani Umayyah telah merampas kekuasaan dari tanagan Ali dan keturunanya.
Dalam suasana pertentangan seperti inilah maka timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral, tidak mau turut dalam praktek kafir-mengkafirkan, seperti yang dilakukan oleh kaum Khawarij dan Syi’ah. Golongan inilah yang kemudian dikenal dengan nama golongan Murji’ah. Bagi mereka sahabat-sahabat yang terlibat dalam pertentangan karena peristiwa tahkim itu tetap mereka anggap sebagai sahabat-sahabt Nabi yang dapat dipercaya keimananya. Oleh karena itu mereka tidak menyatakan siapa yang sebenarnya salah, tetapi mereka lebih baik menunda persoalan tersebut, dan menyerahkanya kepada Tuhan pada hari perhitungan di hari kiamat nanti, apakah mereka itu menjadi kafir atau tidak.
Paham teologi Murji’ah Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, paham teologi Murji’ah mulai muncul karena masalah dosa besar yang pada mulanya ditimbulkan kaum Khawarij, kini juga menjadi persoalan yang dihadapi oleh kaum Murji’ah. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi oarang yang berbuat dosa besar, maka kaum Murji’ah tidak menjatuhkan hukum kafir bagi mereka. Orang yang melakukan dosa besar tidak dapt di tetapkan hukunya di dunia. Penyelesaian hukunya ditunda sampai hari perhitungan di akhirat nanti. Kaum Murji’ah berpendapt bahwa mereka itu tetap orang yang mukmin, alasanya ialah bahwa walaupun mereka itu telah berbuat dosa besar, namun mereka masih tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya. Dengan kata lain orang yang serupa itu tetap mengucap dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman, oleh karena itu orang yang melakukan dosa besar menurut pendapat golongan ini tetap mukmin, dan bukan kafir.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, pendapat seperti dapat membawa kepada paham bahwa yang pentung dan diutamakan dalam beragama ini adalah iman, sedangkan amalperbuatan adalah soal yang kedua. Dengan kata lain bahwa yang menentukan mukmin atau kafirnya sesorang itu hanyalah kepercayaan atau imanya saja, bukan perbuatan atau amalnya. Pendapat yang mengangga perbuatan kurang penting dibanding dengan iman, akhirnya membawa golongan Murji’ah kepada paham yang ekstrim.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa berlainan denan kaum Khawarij, yang menekankan pemikiran pada masalah siapa dari orang Islam yang sudah menjadi kafir, yaitu siapa yang telah kaeluar dari Islam, maka kaum Murji’ah menekankan pemikiran mereka pada hal yang sebaliknya, siapakah yang masih mukmin dan tidak keluar dari Islam.
C.    Doktrin-doktrin Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diimplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik, doktrin irja diimplikasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebanya, kelompok Murji’ah dikenal sebagai the queietists (kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.
Adapun dibidang teologi, doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga mencakup Iman, kufur, dosa besar dan ringan (mortal and venial sains), tauhid, tafsir Al-Qur’an eskatologi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman nabi (the impeccability of the profhet), hukuman atas dosa (punisment of sins), ada yang kafir (infidel) dikalangan generasi awal Islam, tobat (redress of wrong), hakikat al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan Tuhan (predesination).
Berkaitan dengan doktin teologi Murji’ah, W. Mongtgomery Watt merinci sebagai berikut:
a.       Penangguhan terhadap terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskanya di akhirat kelak.
b.      Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
c.       Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d.      Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:
a.       Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim, dan menyerahkanya kepada Allah dihari kiamat kelak.
b.      Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c.       Meletakan (pentingnya) iman dari pada ama.
d.      Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sementara itu Abu ‘A’ la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu:
a.       Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan sesuatu keharusan bagi adanaya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
b.      Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas sesorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.

D.    Sekte-sekte Dalam Murji’ah
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat (bahkan hanya dalam hal intensitas) dikalangan para pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte Murji’ah. Kesulitanya antara lain adalah: ada beberapa tokoh aliran pemikir tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut Murji’ah, tetapi  tidak diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud adalah Washil bin Atha dari Mu’tazilah dan Abu hanifah dari Ahlus Sunnah. Oleh karena itulah, Ash-Syahrastani, seperti yang dikutip oleh Watt, menyebut sekte-sekte Murji’ah sebagai berikut:
a.       Murji’ah-Khawarij
b.      Murji’ah-Qodariyah
c.       Murji’ah-Jabriyah
d.      Murji’ah Murni
e.       Murji’ah Sunni
Sementara itu, Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte-sekte Murji’ah yaitu:
a.       Al-jahmiyah
b.      Ash-shalihiyah
c.       Al-Yunushiyah
d.      As-Samriyah
e.       Asy-Syaubaniyah
f.       Al-Ghailiniyah
g.      An-Najariyah
h.      Al-Hanafiyah
i.        Asy-Syabibiyah
j.        Al-Mu’aziyah
k.      Al-Murisiyah
l.        Al-Karamiyah

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, pada umumnya kaum Murji’ah itu dapat dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan Murji’ah yang moderat dan golongan Murji’ah yang ekrim.
1.      Golongan Murji’ah yang moderat
Golongan ini berpendapat bahwa orang-orang yang melakukan dosa besar itu tidak menjadi kafir karenanya, dan tdak kekal dalam neraka. Orang tersebut akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang ia kerjakan. Bahkan apabila Allah mengampuni dosanya itu ada kemungkinan ia tidak masuk neraka sama sekali. Jadi menurut golongan ini, oramg islam yang melakukan dosa besar itu masih tetap mukmin.
Yang termasuk dalam golongan Murji’ah yang moderat ini antara lain: al-Hasan ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan ahli hadits.
Abu Hanifah misalnya, dalam masalah iman mengatakan: iman ialah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rosul-rasul-Nya, dan tentang apa yang datang dari Tuhan dlam bentuk keseluruhan, bukan dalam bentuk perincian. Menurut dia, iman itu tidak bertambah atau berkurang, dan tidak perbedaan antara manusia dalam hal iman. Dari ucapan Abu Hanifah tersebut jelaslah bahwa iman semua orang islam itu sama, tidak ada perbedaan iman orang islam yang berdosa besar dan iman orang yang patuh dan taat menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-laranganNya.
2.      Golongan Murji’ah yang ektrim
Yang termausuk dalam golngan ini antara lain:
a)        Golongan Al-jahmiah.
Mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang mempercayai kepada Tuhan dan kemudian ia menyatakan kufur kepada Tuhan secara lisan, maka orang tersebut tidak menjadi kafir karenanya, sebab iman itu tempatnya dalam hati, bukan di lidah atau tempatt lain dalam tubuh manusia. Bahkan apabila orang tersebut melakukan penyembahan terhadap berhala, atau menyatakan percaya pada trinitas, kemudian orang tersebut meninggal dunia, maka orang tersebut dalam pandangan Allah masih tetap sebagai  seorag mukmin yang sempurna imanya.
b)        Golongan Al-Salihiah.
Mereka adalah pengikutt Abu al-Hasan al-Salihi. Golongan ini berpendapat bahwa iman adalah pengetahuan Tuhan, sedangkan kufr tidak mengetahui Tuhan. Menurut mereka, shalat itu tidak merupakan ibadah kepada Tuhan, karena yang disebut Ibadat ialah beriman kepada Tuhan.dalam arti mengetahui Tuhan. Menurut mereka shalat , zakat, puasa, dan haji itu hanya untuk menyatakan kepatuhan kepada Tuhan, dan tidak merupakan ibadat kepada Allah, yang disebut ibadat adalah iman.
c)        Golongan Al-Yunusiyah.
Golongan berpendapat bahwa yang disebut iman itu hanyalah mengetahui Tuhan karena itu mereka berkesimpulan bahwa melakukan perbuatan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat itu tidak merusak iman seseorang.
d)       Golongan Al-Ubaidiyah.
Golongan ini berpendapat bahwa jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan beriman, maka dosa-dosa dari perbuatan-perbuatan jahat mereka tidak akan merugikan mereka. Perbuatan jahat, sedikit atau banyak tidak merusakan iman seseorang, dan demikian pula sebaliknya. Perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang yang musyrik (tidak beriman), tidak akan mengubah kedudukanya sebagai orang yang musyrik.
Paham-paham ekstrim seperti dikemukakan di atas, muncul sebagai akibat dari pendapat yang mengatakan bahwa hanya iman sajalah yang penting yang menentukan mukmin atau tidaknya seseorang. Amal perbuatan tidak mempunyai pengaruh terhadap iman seseorang. Iman letaknya dalam hati dan perbuatan-perbuatan manusia itu tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang itu tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak mempunyai iman. Karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang itu tidak akan merusak imannya.
Menurut Al-Asy’ari orang yang berdosa besar, jika meninggal dunia tanpa bertaubat, maka nasibnya berada di tangan Allah,. Ada kemungkinan Tuhan mengampuni dosa-dosanya tetapi ada kemungkinan pula Allah tidak akan mengampuni dosa-dosanya, dan akan menyiksanya sesuai dengan dosa-dosa yang penah dilakukanya, dan kemudian barulah ia dimasukan dalam surga, karena tak mungkin ia kekal dalam api neraka.
Pendapat Al-Asy’ari tersebut identik dengan pendapat yang dikemukakan oleh golongan Murji’ah yang moderat, dan mungkin inilah sebabnya maka Ibn Hazm memasukan Al-Asy’ari kedalam golongan kaum Murji’ah yang moderat.






  
BAB III
KESIMPULAN

Pandangan aliran Murji’ah tentanng status pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Tiap-tiap sekte Murji’ah berbeda pendapat dalam merumuskan definisi iman itu sehingga pandangan tiap-tiap subsekte tentang status pelaku dosa besar pun berbeda-beda pula.
            Secara garis besar, bagaimana telah dijelaskan, subsekte Khawarij dpat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat. Untuk memilahh mana subsekte yang ekstrim atau moderat, Harun Nasution berpendapat bahwa subsekte Murji’ah yang ekstrim adalah merekka yyang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan atau perbuatan sesorang yang menyimpang dari kaedah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak keimananya, bahkan keimananya masih sempurna di mata Tuhan.
            Diantara kalangan Murji’ah yang berpendapat serupa di atas adalah subsekte al-Jamiyah, as-Salihiyah dan al-Yunusiyah, mereka berpandangan bahwa iman adalah tasdiq secara kalbu saja atau dengan kata lain, ma’rifah (mengetahui) Allah dengan Kalbu: bukan secara demonstratif, baik dalam ucapan maupun tindakan. Oleh karena itu, jika seseorang telah beriman dakam hatinya, ia dipandang tetap sebagai seorang mukmin sekalipun menampakan tingkah laku seperti yahudi atau nasrani. Menurut mereka, Iqrar dan Amal bukanlah bagian dari Iman. Kelompok Murji’ah ekstrim yang terkenal adalah perbuatan maksiat tidak dapat menggugurkan ke imanan sebagaimana ketaatan tidak dapat membawa ke kufuran. Dapat disimpulkan bahwa Murji’ah Ekstrim memandang pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka.
            Adapun Murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal di dalamnya, bergantung pada ukuran dosa yang dilakukanya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksaan neraka. Diantara subsekte Murji’ah yang masuk dalam kategori ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya. Pertimbanganya, pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak jauh berbeda dengan kelompok Murji’ah Moderat lainya. Ia berpendapat bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, tetapi dosa yang diperbuatnya bukan berarti tidak berimplikasi seandainya masuk neraka, karena Allah menghendakinya ia tak akan kekal didalamnya. 






DAFTAR PUSTAKA

Mustadjibi, dkk,  Aqidah Akhlak II, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agam Islam Universitas Terbuka, 1996
Rozak, Abdul. Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, cetakan VII, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2012